Visual Indonesia, Jakarta,-
Bienale Pameran Seni Rupa Nusantara, tahun 2017 diagendakan oleh (dan di) Galeri Nasional Indonesia, dihasratkan untuk menemukan dan memamerkan karya-karya para perupa ‘baru’ dari wilayah Nusantara, dari ujung barat Aceh Darussalam, hingga Papua yang berada ujung timur Indonesia.
Asumsinya, melalui pameran ini – yang diselenggarakan dengan mekanisme undangan terbuka – Galeri Nasional Indonesia bisa mendapatkan data sebagai salah satu cara untuk memetakan potensi perupa dan karya-karyanya di negeri yang demikian luas ini, ungkap Suwarno Wisetrotomo, selaku Kurator.
Kepentingan berikutnya, ‘kebaruan’ – baik seniman dan karyanya – dapat ditemukan dan dipamerkan. Peta potensi ini penting, agar distribusi informasi, yang pada gilirannya adalah distribusi kesempatan, dan tersebar meluas ke seluruh wilayah Indonesia.
Kata Nusantara pun menjadi perekatnya karena nama itu menyimpan narasi sejarah panjang terkait spirit dan keluasan jelajah wilayah yang demikian luas.
Dua pameran sebelumnya, yakni tahun 2013, dengan tema “Meta Amuk”, panitia berhasil menjaring 800 aplikasi, dengan 500 perupa, berasal dari 25 provinsi, dan terseleksi sejumlah 115 karya dipamerkan. Pada tahun 2015, dengan mengajukan tema “Art-Chipelago”, panitia dapat menjaring 527 aplikasi atau pelamar, dengan 385 perupa dari 25 provinsi, dan terseleksi 106 karya dipamerkan. Kali ini, pada 2017, dengan mengajukan tema “REST-AREA – Perupa Membaca Indonesia”, panitia menerima aplikasi 1.000 pelamar, dengan 792 perupa dari 28 provinsi, dan terpilih 100 karya (dari 26 provinsi) yang dipamerkan.
Melihat antusiasme pelamar, di samping suatu kegembiraan, juga merupakan tantangan yang serius bagi kami (kurator). Seleksi ekstra ketat pun dilakukan. Penuh pergulatan diskusi. Penuh risiko, bisa salah terka, atau kualitas dokumentasi visual dan narasi yang disertakan tidak jelas, atau sebaliknya juga bisa terjadi. Risiko lainnya kesenjangan antara karya dengan konsep, akibat kelemahan artikulasi yang disusun dalam bentuk esai pendek yang disertakan pelamar dalam portofolionya.
Dari 1.000 aplikasi, dengan 792 karya perupa, melalui pembacaan yang hati-hati melihat aspek gagasan dan visual yang terkait dengan tema “perupa membaca Indonesia”, akhirnya terpilih 100 karya untuk dipamerkan.
Tema REST AREA sebagai bingkai kurasi pameran seni rupa Nusantara 2017, dianggap relevan untuk melihat Indonesia hari-hari ini. Indonesia yang terus berproses ‘menjadi’ dengan sejumlah tikungan terjal, yang jika tidak hati-hati dalam mengelolanya, bisa membahayakan kita semua.
Kondisi semacam itu akhir-akhir ini mewujud dalam bentuk intoleransi, rapuhnya kekerabatan, lunturnya gotong royong, mudahnya berprasangka, maraknya (ujaran) kebencian serta kebohongan, dan sejenisnya. Teknologi informasi menciptakan situasi persilangan (juga benturan) antara yang nyata dengan yang maya, antara yang benar dengan yang salah, antara lain melalui lalu lintas informasi yang mudah dan cepat, tambah Suwarno Wisetrotomo.
Setiap orang, di manapun, terkondisi menjadi konsumen yang cepat menyantap derasnya informasi. Kondisi itu berpotensi setiap orang semakin menjauh dari kesabaran untuk menyaring, memilih, dan merenungkan informasi. Di tengah lemahnya literasi dan kemampuan membaca, situasi ini mencemaskan.
Lantas pertanyaan penting bagi para seniman atau perupa dan dunia seni rupa adalah; Apa peran yang sudah, sedang, akan, dan bisa dimainkan oleh para perupa dengan karya-karya seninya? Termasuk perlunya mengemukakan kembali pertanyaan klasik ‘apa fungsi seni?’
Dalam kaitan inilah tema kurasi “REST AREA – Perupa Membaca Indonesia” menemukan relasinya secara mendasar. Apakah karya seni rupa masih memiliki fungsi sebagai saksi dan pencatat zaman; apakah masih memiliki kekuatan untuk menyentuh kesadaran reflektif bagi penonton; apakah masih memiliki potensi menggugah kesadaran kritis bagi penikmatnya; dan apakah masih memiliki kekuatan misteri yang memberi dan mendorong keluasan imajinasi bagi khalayak luas. Di tengah turbulensi sosial, politik, ekonomi, dan budaya, “seni” (karya seni rupa) seharusnya memainkan peran pentingnya untuk menciptakan keseimbangan.
Karena karya seni rupa yang ‘baik’ akan mendorong dan menciptakan masyarakat berolah kalbu; terbangun kembali kesadaran kritis dan kesadaran reflektifnya. Dalam konteks Indonesia, betapa keberadaban ini juga berada dalam lapisan-lapisan keberagaman untuk membangun kesalingmengertian, pungkas Suwarno Wisetrotomo.
Bagaimana para perupa ini membaca Indonesia hari ini. Lukisan Yayat Lesmana, “Not For Sale” adalah contoh, bagaimana ia merekam kenyataan hari ini, yakni sebuah lanskap indah Indonesia, tetapi tampak sudah terkapling-kapling oleh merek asing.
Karya Hari Gita Setiadi, “Di Ketinggian”, menggambarkan panorama yang ngungun, padatnya gedung tinggi dalam atmosfir kebiruan, lalu sesosok laki-laki dari tepian tebing, mengamati panorama itu; dan ternyata dirinya (sosok yang menatap panorama di depannya itu) juga dalam keadaan terdistorsi; kakinya atau bahkan seluruh tubuhnya, memanjang melampaui proporsi yang normal. Itulah realitas hari ini, siapa, yang mana, di mana, bisa berada dalam perangkap keadaan terdistorsi.
Dari karya Eri Rama Putra “Object From 1998”, menyimpan narasi panjang di balik karya dengan visualisasi sederhana itu. Tongkat itu hadir sebagai ‘monumen’ yang menyimpan narasi traumatis atas kekerasan etnik (dalam esai pendek di portofolio, Eri Rama Putra menulis apa yang ia ingat, bahwa tongkat pemukul digunakan untuk berjaga dan memberikan tanda, agar etnik tertentu basiaga atas perlakuan etnis lain). Warna merah dan sepotong tongkat yang diletakkan vertikal itu menjadi penanda yang demikian kuat terhadap problematika etnis di Indonesia yang penuh drama, bahkan hingga kini.
Lukisan Ignatius Dicky Takndare (satu-satunya karya yang lolos dari Papua), “Ana ye Ana”, juga mengisyaratkan narasi muram. Potret perempuan Papua, yang menunjukkan punggung kedua tangannya. Perhatikan jari-jari tangan kirinya; buntung sejak ruas tengah, karena sengaja dipotong, untuk memenuhi panggilan adat sebagai bukti rasa belasungkawa atas kematian anggota keluarganya. Karya ini terasa getir terkait dengan upaya-upaya perjuangan kesederajatan gender. Mengapa perempuan yang harus menanggung sedemikian berat penanda duka cita itu?
Atau Karya lukisan Rismanto, pelukis debutan baru dari Yogyakarta, “Awas Spoor#Banteng Ketaton” adalah lukisan tentang panorama kereta api yang unik. Di depan kereta yang melaju itu, seekor banteng luka (banteng ketaton = banteng terluka) tengah bergejolak menyusuri rel. Banteng yang luka itu bukan bergerak distruktif, tetapi justru terlihat tengah ‘memandu’ kereta yang melaju, bukan melawannya.
Lukisan “Tiang Tak Berpasang” karya Agustan juga megisyaratkan harapan yang teguh; tiang-tiang keberagaman itu terus berupaya ditegakkan oleh siapapun, di manapun, di segala cuaca dengan penuh semangat.
Optimisme juga menjadi tema lukisan karya Aqil Prabowo, bertajuk “All People Are Special”. Demikian pula pelukis yang mengidap schizophrenia akut, Dwi Putro Mulyono Jati, yang melukis puluhan sosok perempuan pembaru, Kartini, yang dipajang secara instalatif (“Indonesia Juga Kaya Akan Seni Liyan”). Aqil Prabowo dan Dwi Putro Mulyono Jati adalah dua pelukis yang menunjukkan kelebihan di tengah keterbatasannya (Aqil ditengarai mengidap diseleksia). Dengan melukis, mereka memberikan catatan dan rekaman terhadap realitas di sekitar dirinya, juga di sekitar kita yang demikian beragam, dan menggugah kesadaran kita semua. Dwi Putra misalnya, memiliki energi luar biasa besar untuk melukis, melukis, dan melukis, hingga pernah mendapat penghargaan MURI dari Museum Record Indonesia karena mampu tanpa jeda melukis selama empat hari empat malam tanpa tidur. Demikianlah Pak Wi – demikian ia biasa disapa – menghadirkan dan menyelamatkan dirinya dari dunia gelap yang nyaris melibas dirinya.
Belum lagi Karya Ong Harry Wahyu menarik disimak, sebuah karya tiga dimensional, sesosok orang tidur lelap menyanding sebuah buku. Ternyata dia adalah Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), filsuf asal Jerman (juga penyair, dan kritikus budaya). Nietzsche yang kritis pada persoalan Ketuhanan, kali ini, dalam perspektif Ong Harry Wahyu, kelelahan (mungkin) setelah membaca buku “Ngelmu Urip” (Pengetahuan Kehidupan) tulisan Ki Ageng Suryomentaram, dan akhirnya tertidur lelap, masih mengenakan stelan jasnya.
Karya-karya yang terpilih ini diandaikan menjadi “rest area” – area istirahat – setelah keseharian menjadi warga masyarakat yang didera oleh berbagai persoalan yang (mungkin) melelahkan lahir batin. Galeri Nasional Indonesia, berikut karya-karya yang dipamerkan dalam Pameran Nusantara “REST AREA – Perupa Membaca Indonesia” 2017, diandaikan akan menjadi area jeda dari kepenatan keseharian yang menyentuh dan memunculkan semangat serta energi baru, sambil merenungkan Indonesia hari-hari ini.
(tjo; foto ist