Visualindonesia.com,-
Tetesan air mata jatuh di atas sajadah, bukan karena sedih, tapi karena lega. Itulah momen pertama yang menggema di hati penonton saat “Air Mata Mualaf” ditayangkan untuk pertama kalinya di depan para jurnalis dan insan film pada 19 November 2025.
Bukan sekadar film tentang perpindahan keyakinan, ini adalah cerita tentang seorang perempuan yang memilih jalan sendiri di tengah badai keluarga, ketika cinta yang paling dalam justru harus dibuktikan bukan dengan kepatuhan, tapi dengan keberanian untuk berkata: “Ini adalah jalan saya.”
Film yang bakal tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia mulai 27 November 2025 ini tidak dibuka dengan khotbah, tidak menghakimi, dan tidak menawarkan jawaban instan. “Air Mata Mualaf” memulai dari kehancuran: Anggie, seorang perempuan Indonesia yang hidup di Sydney, hancur setelah meninggalkan hubungan kekerasan.
Dalam keadaan mabuk, terluka, dan kehilangan arah, ia jatuh di depan masjid dan dari situlah, sebuah perjalanan spiritual dimulai bukan karena paksaan, tapi karena ketenangan yang ia dengar dalam lantunan ayat suci.

Sutradara Indra Gunawan menolak narasi hitam-putih.
“Ini bukan soal siapa yang benar atau salah. Ini soal manusia yang berdiri di persimpangan, dengan takut, dengan cinta, dan dengan keberanian untuk memilih jalan yang mungkin membuatnya sendirian,” kata Indra di XXI Epicentrum, Kuningan, Rabu (19/11/2025).
Produser Dewi Amanda menambahkan bahwa inspirasi film ini lahir dari pengalaman nyata.
“Kami melihat banyak keluarga yang menganggap perbedaan keyakinan sebagai ancaman. Padahal, justru di situlah ruang belajar lahir. Hidayah tidak datang karena tekanan. Ia datang ketika hati sudah cukup lelah untuk berbohong pada dirinya sendiri,” ujar Dewi.
Acha Septriasa, yang memerankan Anggie, mengaku peran ini mengubah cara ia memahami keberanian.
“Anggie tidak membenci. Dia tidak marah. Dia hanya memilih, dengan cinta yang sama dalamnya untuk keluarganya. Ini bukan tentang meninggalkan, tapi tentang jujur pada diri sendiri.”

Sementara Achmad Megantara, sebagai seorang ustadz yang berusaha memahami perubahan Anggie, mengingatkan kita bahwa spiritualitas tidak pernah seragam.
“Banyak orang datang kepada Tuhan bukan karena marah, tapi karena lelah. Hidayah tak bisa diukur. Ia datang seperti embun — tanpa suara, tapi mengubah tanah yang kering.”
Rizky Hanggono, yang memerankan kakak Anggie, bahkan terisak saat menonton adegan terakhir.
“Saya teringat adik saya. Kami tidak menolaknya karena benci. Kami takut kehilangan. Film ini mengajarkan, mencintai bukan berarti mengendalikan,” ungkap Rizky.
Dan memang, tak ada tokoh jahat dalam “Air Mata Mualaf”. Konflik terbesar bukan antara agama, bukan antara tradisi dan modernitas, tapi antara dua hati yang sama-sama ingin menyelamatkan: satu ingin menyelamatkan keluarga, satu ingin menyelamatkan jiwanya sendiri.

Dengan kolaborasi lintas budaya yang mempertemukan talenta dari Indonesia, Malaysia, dan Australia, termasuk Syamim Freida, Hazman Al Idrus, dan Matthew Williams, film ini membuktikan bahwa cerita tentang pencarian makna, rasa ingin dimengerti, dan kebutuhan akan cinta tanpa syarat adalah bahasa universal yang tak terbatas oleh batas negara atau keyakinan.
Dan di tengah dunia yang sering menghakimi pilihan orang lain, “Air Mata Mualaf” hadir seperti sebuah bisikan lembut. Kadang, cinta yang paling dalam adalah yang membiarkan seseorang pergi untuk menemukan dirinya sendiri.
Film “Air Mata Mualaf” bakal tayang di seluruh bioskop Indonesia mulai 27 November 2025, disusul rilis di Asia Tenggara dan Timur Tengah pada awal Desember.
(*/dra; foto: mm







