Visualindonesia.com,-
Bogor selalu punya cara memanjakan lidah para pencinta kuliner. Di balik hiruk pikuk wisata kuliner yang terkenal dengan asinan dan soto mie, terselip satu hidangan khas yang mencuri perhatian: “cungkring”. Sajian tradisional berbahan dasar kikil dan bagian kaki sapi ini telah menjadi ikon rasa yang melekat pada identitas kuliner Kota Hujan.
Cungkring disajikan dengan gaya sederhana namun menggoda. Potongan kikil, otot, kulit, hingga bibir sapi direbus empuk, lalu disiram dengan bumbu kacang gurih nan kental. Di sampingnya tersaji lontong yang dibungkus daun patat yang menghadirkan aroma wangi khas, serta dua potong tempe goreng garing.
Sentuhan akhir berupa kecap manis, sambal hijau, dan taburan bawang goreng melimpah membuatnya kian menggugah selera.
Konon, nama cungkring memiliki dua versi asal-usul. Ada yang menyebut berasal dari singkatan cungur (bibir sapi) dan kaki garingan (otot kaki), sementara versi lain menyebut “cungkring” merupakan sebutan Sunda untuk kikil. Apa pun maknanya, satu hal pasti, hidangan ini telah menjadi bagian dari keseharian warga Bogor sejak puluhan tahun lalu.

Salah satu penjaja cungkring paling legendaris di kota ini adalah Mang Uceng, yang setiap hari berjualan di kawasan Surya Kencana atau akrab disebut Surken.
Dulu, Mang Uceng memikul dagangannya berkeliling dari satu titik ke titik lain. Kini, ia menetap dengan gerobak di depan Pempek Jebus Kloto dan bahkan berencana menggunakan motor agar lebih praktis melayani pelanggan.
Setiap hari, mulai pukul 09.30 hingga 15.00, antrean panjang terlihat di depan gerobaknya. Warga lokal hingga wisatawan datang silih berganti untuk mencicipi sepiring kenikmatan yang dibanderol hanya Rp20 ribu. Namun, jangan datang terlalu siang karena dalam hitungan jam, cungkringnya sering ludes sebelum sore tiba.
Keistimewaan Cungkring Mang Uceng bukan sekadar pada cita rasa, tetapi juga pada pilihan isinya. Selain kikil kenyal yang jadi andalan, tersedia pula kulit kepala, kulit badan, kuping sapi, dan bahkan kaki sapi yang hanya hadir di akhir pekan.

Variasi gorengan pendamping pun beragam, dari bala-bala hingga bakwan jagung, tergantung waktu kedatangan pembeli.
Rasa gurih yang mendalam berpadu dengan tekstur kikil empuk menciptakan sensasi yang sulit dilupakan. Setiap suapan seperti membawa penikmatnya kembali pada suasana hangat khas warung kaki lima di tengah kesejukan Bogor.
Dengan resep autentik, harga bersahabat, dan pelayanan sederhana penuh kehangatan, Cungkring Mang Uceng bukan sekadar kuliner legendaris, tapi juga potret ketekunan dan cita rasa khas kota yang selalu dirindukan.
Di bawah rindang pepohonan Surken, sepiring cungkring menjadi simbol bahwa kelezatan sejati tak perlu kemewahan — cukup rasa, kenangan, dan kejujuran dalam setiap bumbu.
(*/dee; foto: dsp







