Visualindonesia, Jakarta,-
Oleh: Muhamad Zarkasih (*
“Aku bermimpi di mana pada suatu hari nanti keempat anakku akan tinggal di sebuah negara yang tidak menilai seseorang berdasarkan warna kulitnya tetapi berdasarkan karakter.”
Siang itu, 28 Agustus 1963, seorang aktivis dan pendeta bernama Martin Luther King Jr. membakar 250 ribu orang yang berkumpul di depan Lincoln Memorial. “I have a dream”, demikian pidato itu diingat, menjadi salah satu pidato paling berpengaruh dalam sejarah Amerika Serikat.
Seharusnya pidato itu menjadi awal dari selesainya masalah rasial di AS, setelah catatan sejarahnya yang panjang dan kelam. Tapi apakah itu yang terjadi?
Ternyata tidak. Sejarah panjang persoalan rasialisme di AS belum menemukan titik hentinya, padahal itu telah berlangsung sejak munculnya masa perbudakan di AS. Perbudakan di Amerika Serikat adalah perlembagaan absah mengenai perbudakan manusia yang pernah ada di Amerika Serikat pada abad ke-18 dan 19.
Munculnya tokoh-tokoh anti rasialisme seperti Martin Luther King dan Malcom X seperti tidak meninggalkan bekas yang berarti bagi terhentinya masalah rasialisme.
Setiap masa selalu muncul kerusuhan yang berakar pada masalah rasialisme.
Kerusuhan yang masif dan selalu meninggalkan luka sosial dan ekonomi. Fakta terjelas: rasisme masih hidup dan ketimpangan masih merajalela di AS.
‘The Economist’ melaporkan, warga kulit hitam di Negeri Adidaya masih mengalami disparitas ekonomi, kesehatan bahkan hukum.
Pada Senin (25/5/2020), George Floyd tewas usai lehernya ditekan oleh lutut Derek Chauvin, salah satu dari empat polisi Minneapolis yang menahannya.
Floyd ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu senilai US$ 20 (Rp 292 ribu).
Lalu kerusuhan pun terjadi. Hingga kini, menurut data ‘USA Today’, setidaknya gerakan ini sudah muncul di sebanyak 430 kota, baik kota besar maupun kecil, di seluruh 50 negara bagian AS.
Slogan dan tagar ‘Black Lives Matter’ bertebaran di mana-mana saat demonstrasi George Floyd berlangsung. Black Lives Matter (BLM) adalah sebuah gerakan, yang diinisiasi pada 2013 saat menanggapi pembebasan pembunuh Travyon Martin.
Gerakan ini lalu membentuk sebuah yayasan bernama Black Lives Matter Foundation yang berada di Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.
Rasanya masalah rasialisme di AS sangat sulit menemukan titik hentinya. Ia akan terus menjadi virus yang menghantui dan siap meledak kapan pun.
Terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden ternyata juga bukan menjadi obat yang kuat untuk menghilangkan virus itu.
Obama terpilih sebagai Presiden AS bukan karena rakyat AS sudah memberikan tempat yang seluasnya bagi kalangan kulit hitam, bukan karena ada pengakuan secara total bagi kulit hitam, tetapi lebih karena kepentingan politik internasional.
Maka, meskipun Obama dua kali menjadi Presiden AS, soal rasialisme tetap saja tumbuh.
Kalau kita melihat ke negeri kita, sebenarnya potensi kerusuhan sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan di AS, dalam konteks rasialisme.
Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus BPS tahun 2010.
Ditambah lagi dengan jumlah agama utama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen (katolik dan protestan), Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.
Sebenarnya Indonesia sangat rentan terhadap munculnya kasus bernuansa rasial dan agama. Tapi kenyataannya justru tidak seperti itu.
Setidaknya, kita belum pernah melihat sebuah kerusuhan yang massif di seluruh penjuru negeri yang bermula dari soal suku, agama dan ras. Kerusuhan yang terjadi selalu bersifat lokal, yang kemudian mampu dieliminir sebelum berkembang lebih luas.
Ada beberapa kasus sebagai contoh. Kasus antar suku di Sampit (2001), lalu kasus antar umat beragama di Ambon (1999), konflik antar etnis (1998), konflik isu Ahmadiyah dan Syiah (2000-an), juga konflik antar golongan (GAM, RMS, OPM) dengan Pemerintah.
Meski yang terakhir ini lebih bersifat pemberontakan, penentangan terhadap eksistensi NKRI.
Dari semua contoh kasus tadi, dapat ditarik sebuah garis lurus bahwa semua konflik itu mampu dilokalisir dan diredam dengan cepat, sehingga tidak menjadi sebuah gerakan kerusuhan yang melebar ke seluruh penjuru negeri. Lalu apa yang menyebabkan konflik-konflik tadi bisa cepat diredam?
Selain karena kemampuan aparat, tentu karena kita punya Pancasila.
Pancasila secara jelas menjadi pemersatu bangsa, telah menyerap di dalam jiwa setiap anak bangsa.
Pancasila telah mampu meredam emosi dan kebencian, hingga yang muncul kemudian adalah kesadaran bahwa konflik apa pun hasil akhirnya adalah kerugian bagi semua pihak.
Salah satu ‘Unique value’ dari Pancasila adalah kebhinekaan. Ketika perbedaan besar ada di hampir semua sendi kehidupan – yang sangat berpotensi menjadi akar kerusuhan – ternyata mampu melebur ke dalam semangat persatuan dan kesatuan. Sehingga sangat jarang terjadi sebuah kerusuhan lokal mampu memicu kerusuhan sejenis di daerah lainnya.
Ketika konstitusi di negara lain tak mampu melindungi harkat hidup rakyatnya secara menyeluruh, maka Pancasila menjadi alat terpenting bagi perlindungan hak dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Pada posisi inilah kita yakin bahwa Pancasila adalah pilihan ideologi terbaik bagi bangsa ini. []
(* penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial, Politik dan Hukum