Visual Indonesia, Jakarta,-
Baru saja lulus kuliah, kiprah perempuan muda ini dalam jagad fashion etnik Indonesia telah mencuri perhatian dan sungguh patut diperhitungkan. Hal tersebut lantaran bagaimana dia mengeksplorer design dari fashion etnik yang dikembangkannya bak menembus batas ruang dari etnik itu sendiri (yang mengingatkan kita pada sesuatu di masa lalu, red) dan modernitas yang mewakili dirinya yang masih berjiwa muda pada tahunnya kini.
Seperti apa yang dilakukannya saat mengeksplorer sebuah motif dari mikroorganisme yang membentuk sebuah pantai indah berwarna pink di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kemudian dipadupadankan dengan kain-kain etnik nusantara yang begitu kayanya. Sebuah eksplorasi kreatifitas yang luar biasa. Atau bagaimana dirinya memainkan imaji kreatifnya memadupadankan tengkorak (imaji sebuah kematian, red) dengan motif-motif etnik kain Toraja yang di cutting dengan design fashion yang kekinian.
Agatha memang terus mengasah dirinya untuk berkemampuan melihat kain etnik dapat diterima oleh para perempuan seusianya. Dan pengalamannya yang selalu berpindah tempat dari daerah ke daerah lain mengikuti orang tuanya, menjadi bekal tersendiri untuk mengenal budaya masyarakat setempat yang tercermin dari kain-kain yang diciptakannya. Bahkan menemani sang ibunda mengkoleksi sejumlah kain etnik menjadi pengetahuan tambahan untuk terus menciptakan design fashion yang cocok untuk para perempuan di usia 20-30 tahun.
Bagi Agatha Aprillia Dewanti, tak ada yang perlu dibatasi untuk bagaimana kain-kain etnik nusantara yang begitu kaya corak, warna dan motif itu mengeksplor imajinya. Seolah itu telah disediakan oleh alam dan dirinya tinggal bagaimana memprosesnya menjadi sebuah produk fashion yang justru lebih memperkaya dari kain itu sendiri. Dan memiliki nilai ekonomi yang dapat dirasakan hingga ke pengrajinnya.
Agatha Aprilia memulai kiprah fashion etniknya saat dirinya masih duduk di bangku Universitas Bina Nusantara pada jurusan Fashion, yakni pada saat berlangsungnya Jakarta Fashion Week 2015. Di mana ada lima mahasiswa UBN yang mendapatkan kesempatan untuk menampilkan karyanya di ajang JFW tersebut sebagai sebuah ‘Tugas Sekolah’. Dan Agatha menampilkan karya Mongolian-nya yang dipadukan dengan kain-kain etnik nusantara.
Namun dalam perjalanannya paska JFW, design fashion etnik Agatha Aprillia justru banyak diminta untuk dipasarkan oleh sebuah online shop. Sehingga tak kurang dari 8 seri (1 seri terdiri dari 3 model design) dari design fashion etnik miliknya dipasarkan melalui online shop tersebut. Meski begitu Agatha Aprillia juga membukanya secara costums bagi para pelanggannya. Bahkan tak sedikit para stylish terkenal ibukota, diantaranya Titi Rajo menggunakan design fashion etnik dari brand yang menggunakan namanya itu, Agatha Aprillia.
Dalam waktu dekat Agatha akan mengikuti lomba yang digelar oleh sebuah perusahaan minuman kesehatan untuk mewakili UBN bersama 10 finalis lainnya. Gadis cantik berkacamata inipun berharap bisa menjadi yang terbaik agar bisa merasakan dahsyatnya Seoul Fashion Week di Korea sebagai hadiah juara pertama di ajang tersebut.
Agatha di akhir perbincangan dengan tersenyum malu mengingatkan bahwa dalam waktu dekat, design-design fashion etnik milik perempuan kelahiran Sorong ini pun bakal digelar di Kuala Lumpur, Malaysia (13/9), bertemakan ‘Toraja’.
Semoga sukses selalu menyertai.
(tjo; foto mm