Banten,-
Revitalisasi kawasan bersejarah Kesultanan Banten ‘Banten Lama’, diperkirakan menelan biaya Rp 100 Miliar. Penelitian yang dilakukan Budi Sulistyo, Gita Vemilya, dan Many dari Jurusan Teknik Planologi, Universitas Esa Unggul mengungkap sejarah hingga bagaimana Banten Lama memiliki daya tarik sebagai kawasan wisata ziarah.
Situs Kesultanan Banten menyisakan sejumlah situs bernilai sejarah itu dan pada awalnya kawasan Banten dikenal dengan Banten Girang yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam.
Dipicu adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513.
Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah, Demak melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda. Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan juga dalam penaklukan tersebut.
Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri pada tahun 1552 dengan Maulana Hasanudin yang menjadi raja pertamanya.
Wilayah kekuasaan Maulana Hasanudin meliputi Banten, Jayakarta sampai Karawang, Lampung, Indrapura sampai Solebar (Djajadiningrat, 1983: 181). Kerajaan Banten mencapai kejayaan pada masa Raja Maulana Yusuf, di mana perdagangan di Banten mengalami kemajuan yang pesat. Juga pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.
Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada tahun 1803 Banten dipimpin oleh putra kedua Sultan Abul Mafakih Muhammad Aliyuddin dengan gelar Sultan Abu‟l Nasr Muhammad Ishak Mutaqqin atau Sultan Aliyuddin II (1803-1808).
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nasr Muhammad Ishak Mutaqqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Pada tahun 1813, ketika Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Muhammad Syarifuddin, ia dipaksa turun tahta dan kemudian Kesultanan Banten dihapuskan oleh Pemerintahan Inggris yang menggantikan Belanda di Banten di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
Sisa-sisa sejarah Kesultanan Banten, seperti kompleks Keraton Surosowan yang dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Mesjid Agung Banten, Kompleks Makam Raja-raja Banten dan keluarganya, Kompleks Keraton Kaibon, Jembatan Rante, Gih berdiri tegak, seperti Masjid Agung Banten.
Kawasan situs Kesultanan Banten merupakan kawasan yang cukup strategis dan menyimpan banyak potensi sebagai sebuah kawasan wisata religi dan ilmu pengetahuan. Namun, potensi ini tidak muncul dan bahkan nyaris tenggelam jika melihat kondisi lingkungan sekitar situs yang memprihatinkan.
Upaya merevitalisasi kawasan Kesultanan Banten menuntut andil dua pemerintahan, yakni, Pemerintah Provinsi Banten dan Pemerintah Kota Serang, sesuai kewenangan masing-masing. Sejumlah aspek penunjang kawasan memang ada yang menjadi tangggung jawab kedua pemerintahan ini secara terpisah, di samping pelibatan institusi Balai Kepurbakalaan juga penting.
Seperti diketahui, jalur utama menuju kawasan Kesultanan Banten yang berada di wilayah Kecamatan Kasemen, merupakan jalur provinsi yang pembangunan dan pemeliharaannya menjadi kewenangan provinsi. Sedangkan akses masuk kawasan dan fasilitas umum penunjan sekitar akses tersebut merupakan jalan lingkungan yang dapat ditangani oleh Pemkot Serang. Sementara fasilitas dan sarana di dalam areal kawasan dapat ditangani bersama antara Pemprov Bante, Pemkot Serang, maupun Balai Kepurbakalaan.
Beberapa waktu lalu, para pejabat Pemprov Banten maupun Pemkot Serang telah bersepaham tentang rencana revitalisasi kawasan bersejarah yang akan menelan biaya Rp 100 miliar itu. Jika melihat manfaatnya, nilai itu tentu sangat sepadan dengan apa yang akan diperoleh dari proses ‘kelahiran’ kembali kawasan Kesultanan Banten. (ist/mdtj/foto ist