Oleh Hardo Sukoyo
Visualindonesia, Jakarta,-
Produksi: Max Pictures; Produser: Ody Mulya Hidayat; Sutradara: Fajar Bustomi & Pidi Baiq; Skenario: Titien Wattimena; Penata Kamera: Dimas Imam Subhono; Penata Artistik: Angie Hakim;Penyunting Gambar: Ryan Purwoko; Penata Musik: Andhika Triyadi: Penata Suara: Khikmawan Santosa; Pemain: Iqbaal Ramadhan, Vanessa Prescilla (sebagai Milea Adnan Hussain semasa SMA), Sissy Priscillia (sebagai Milea Adnan Hussain dewasa – narator), Giulio Parengkuan, Omara Esteghlal, Zulfa Maharani, Yoriko Angeline, Steffi Zamora, Andryos Aryanto, Adhisty Zara, Ira Wibowo, Farhan, Happy Salma, Ridwan Kamil, Maudy Koesnaedi, Jevin Julian, dan Bucek Depp.
Masa lalu memang tidak dapat diulang kembali. Walaupun begitu, masa lalu sangat mengasyikan untuk dikenang. Apalagi bila masa lalu itu tentang kisah kasih sepasang remaja SMA yang dipenuhi suasana rindu, tetapi berakhir dengan perpisahan, karena ada pribadi yang cemas dan ada pribadi yang tidak mau dikekang.
Itulah setidaknya tema dasar yang dapat dipetik dari film “Dilan 1991” karya sutradara Fajar Bustomi dan Pidi Baiq. Seperti juga pesan moral yang mengemuka pada novel Dilan dia adalah Dilanku Tahun 1991 karya Pidi Baiq, yang diangkat ke dalam film, dengan judul yang sama “Dilan 1991”.
Lalu, apakah Fajar Bustomi dan Pidi Baiq selaku sutradara mampu menjadikan cerita novel Dilan 1991 yang diterbitkan oleh Mizan Pustaka itu, sebagai film yang memiliki nilai setara dengan novelnya?
Mengingat novel best seller tersebut, sudah mendeskripsikan secara detail, baik narasi maupun dialog para tokohnya yang mengalir dinamis, serta enak untuk dibaca sampai paragraf terakhir.
Dengan kata lain, novel Dilan 1991 sebagai karya sastra yang enak untuk dibaca, di tangan mereka berdua, apakah mampu divisualisasikan menjadi film yang enak ditonton?
Berhasilkah mereka, terutama ketika mengubah deskripsi verbal menjadi bahasa visual, berdasarkan kaidah sinematografi beserta berbagai unsurnya pada sebuah film. Seperti skenario, penataan kamera, artistik, akting, musik, suara, dan editing, baik dari sudut teknis maupun kreatif?
Jawaban atas berbagai pertanyaan itu, dapat dipastikan, siapa saja setelah menonton film “Dilan 1991”, tidak akan kecewa. Bahkan kekecewaan tidak akan terjadi bagi yang sering kecewa, karena merasa imajinasinya terkikis, setelah menonton film yang diangkat dari novel.
Hal itu disebabkan, karena kerjasama Fajar Bustomi dengan pemilik cerita, Pidi Baiq, sebagai sutradara, melalui hasil kerja penata kamera Dimas Imam Subhono, berhasil memvisualisasikan sknario karya Titien Wattimena, relatif cukup baik.
Layaknya skenario film, novel Dilan 1991 karya Pidi Baiq juga dibagi dalam 24 Bab (sequence). Mulai dari Bab 1; Aku, sampai dengan Bab 24; Aku Sekarang. Kemudian masing-masing bab tersebut dibagi dalam beberapa bagian (scene). Seperti Bab 1 Aku, terdiri dari 1- 4 bagian; Bab 2 Hari Jadi, terdiri dari 1 – 6 bagian; Bab 3 Cerita Dilan, 1 – 4 bagian; Bab 4 Dikeroyok Agen CIA, 1- 6 bagian; Bab 5 Malam Penaklukan, 1 – 6 bagian; Bab 6 Tante Anis, 1 – 7 bagian; Bab 7, Dilan Membalas, 1 – 6 bagian; Bab 8 Yugo dan Beni, 1 – 7 bagian; Bab 9 Setan Yugo, 1 – 3 bagian; Bab 10 Pergaulan, 1 – 6 bagian; Bab 11 Ibu Anhar, 1 – 11 bagian; Bab 12 Porseni, 1 – 6 bagian; Bab 13 Besuk Dilan, 1 – 8 bagian; Bab 14 Pak Dedi, 1 – 4 bagian; Bab 15 Pernyataanku, 1 – 4 bagian; Bab 16 Tahun Baru, 1 – 3 bagian; Bab 17 Dilan Pamit, 1 – 5 bagian; Bab 18 Puisi, 1 – 3 bagian; Bab 19 Akew, 1 – 9 bagian; Bab 20 Putus, 1 – 11 bagian; Bab 21 Tanpa Dilan, 1 – 4 bagian; Bab 22 Bertemu Dilan, 1 – 3 bagian; Bab 23 Reformasi, 1 – 2 bagian, dan Bab 24 Aku Sekarang, terdiri dari 1 – 6 bagian.
Berawal dari novel Dilan 1991 dengan konstruksi dramatik yang filmis seperti itu, dapat diduga penulis skenario, Titien Wattimena, lebih mudah dalam memilah dan memilih bagian mana saja, yang paling tepat untuk disusun sebagai rangkaian cerita pada skenario film “Dilan 1991”. Sehingga sebab dan akibat permasalahan serta benang merah cerita, terjaga secara utuh.
Memang, secara keseluruhan rangkaian cerita film “Dilan 1991” ada sedikit perbedaan dengan cerita novel Dilan 1991, karena dipotong atau lebih tepatnya dipadatkan.
Walaupun begitu, terkesan pemadatan cerita itu dimaksudkan untuk lebih mempertegas terjadinya berbagai konflik yang berdampak pada putusnya “hubungan mesra” antara Milea dan Dilan.
Misalnya, tidak adanya cerita tentang Reformasi pada film “Dilan 1991” seperti yang ada pada Bab 23 novel Dilan 1991, sama sekali tidak berpengaruh pada keasyikan menonton film ini.
Berbeda dengan ketika dihadirkannya gambaran adanya berbagai konflik yang beruntun, penyebab putusnya hubungan Milea dan Dilan.
Seperti pada adegan saat Milea mendapat kabar bahwa Dilan ditangkap polisi, karena melakukan penyerangan terhadap pelaku yang menyebabkan Akew meninggal. Juga adegan ketika Milea mengetahui bahwa Dilan telah diusir dari rumah oleh ayahnya. Atau adegan ketika Milea menampar Dilan di rumah Burhan.
Berbagai Adegan yang menggambarkan puncak kekecewaan Milea terhadap Dilan itu, cukup menjadi alasan pembenaran, mengapa Milea harus putus dengan Dilan.
Film “Dilan 1991” dibuka dengan visualisasi adegan tokoh “Aku”, sedang duduk di kursi menghadapi monitor komputer yang terletak di atas meja tulis. Layaknya presenter dalam program televisi, “Aku” selaku narator membawakan narasi sebagai informasi.
“Aku” adalah Milea Adnan Hussain, ketika dia mengawali penuturannya kembali, tentang cerita saat Milea dan Dilan berpacaran di tahun 1990, berdasarkan buku yang telah ditulisnya sendiri Dilan, dia Adalah Dilanku, Tahun 1990.
Adegan tersebut juga dapat ditafsirkan sebagai informasi yang “menggiring” penonton untuk memahami bahwa cerita film “Dilan 1991”, adalah kenangan masa lalu dari sudut pandang Milea Adnan Hussain.
Bertolak dari informasi itu, penonton pun kemudian memahami bahwa pengungkapan jalinan cerita film “Dilan 1991” akan disampaikan dengan pendekatan pola bertutur kilas balik (flashback) lengkap dengan narasinya.
Melalui sarana audio – visual, gambar filmis yang sering kali disertai narasi Milea Adnan Hussain sebagai narator, cerita film pun berlanjut.
Pergerakan kamera dan komposisi gambar, hasil kerja penata kamera Dimas Imam Subhono, pada beberapa adegan film Dilan 1991 terasa nyaman dan enak dilihat. Pada umumnya gambar filmis itu, merupakan hasil syuting ketika Milea duduk di dalam mobil yang direkam dari kaca depan, kendaraan tersebut.
Seperti, ketika Milea yang berniat menemui Dilan, yang akan melakukan penyerangan balasan, diantar Yugo dan ketika bersama Bunda Dilan akan bertemu Dilan di rumah Burhan.
Lebih khusus lagi komposisi gambar filmis ketika Bunda Dilan, di depan Milea, marah kepada Dilan di suatu tempat.
Visualisasi berbagai adegan tersebut memiliki kualitas tersendiri, karena gambar yang disajikan tidak sekadar merekam adegan, tetapi sebagai bahasa film yang memiliki makna yang mendalam. Tentang adanya “batas pemisah” di antara hubungan Milea dan Dilan.
Penyuntingan gambar yang dilakukan Ryan Purwoko, musik yang ditata Andhika Triyadi, serta penataan suara oleh Khikmawan Santosa, membuahkan keharmonisan pada irama film, baik itu pada suasana dinamis, ironis, maupun yang romantis.
Akting Vanesha Prescilla sebagai Milea lebih tereksplorasi. Dia dapat menempatkan emosi yang pas di beberapa adegan. Sedangkan akting Iqbaal Ramadhan sebagai Dilan, terasa kurang maksimal. Misalnya saat mengumumkan hubungannya dengan Milea di hadapan teman-temannya, Iqbaal Ramadhan yang menggunakan bahasa Sunda terdengar seperti sedang menghafal.
Beberapa karakter pendukung, seperti Ira Wibowo yang berperan sebagai Bunda Dilan, atau para pemeran guru pada edegan Dilan pamitan di ruang guru, termasuk Ridwan Kamil, lebih menarik perhatian.
Latar tahun 1990-an digambarkan cukup pas dengan suasana kota Bandung yang masih sepi sebelum dipadati kendaraan.
Di awal pacaran digambarkan, Milea mengalami banyak hal yang indah bersama Dilan. Seperti, Milea sering diajak Dilan pergi dengan motor kesayangannya. Bahkan ketika Bandung diguyur hujan pun, Milea tidak peduli, meskipun bajunya basah kuyup saat dibonceng Dilan di sepanjang perjalanan, pulang sekolah. Milea tetap saja memeluk Dilan erat-erat.
Dilan juga rajin menghibur Milea lewat serangkaian “rayuan gombal”. Seakan “dunia milik mereka berdua”.
Selain itu, Milea juga menjadi lebih kenal dengan keluarga Dilan termasuk Ayah Dilan, Letnan Ical, anggota Kostrad yang pernah ditugaskan ke Timor Timur.
Pada suatu hari, Dilan dikeroyok oleh orang yang tidak dikenal. Dilan pun berencana untuk balas dendam. Kemudian muncul konflik yang membuat terganggunya hubungan Milea dan Dilan.
Milea mulai tidak suka dengan Dilan yang ikut geng motor, karena mengkhawatirkan keselamatan Dilan. Namun Dilan masih saja terus bergaul dengan geng motornya.
Padahal kegiatannya di geng motor itu, membuat Dilan terancam dikeluarkan dari sekolah. Sempat ditahan di kantor polisi beberapa hari, juga diusir oleh ayahnya dari rumah.
Di tengah masalah itu, hadir seorang pria bernama Yugo. Yugo adalah anak Tante Anis, sepupu jauh ayah Milea yang baru pulang dari Belgia. Kepulangan Tante Anis dan Yugo ke Bandung, membuat Milea gelisah. Sebab selain Yugo menampakkan rasa sukanya pada Milea, juga karena usaha Yugo untuk menggaet Milea dikatagorikan “kurang ajar” di mata Milea.
Maka Yugo pun mendapat sebutan dari Milea “Setan Yugo”. Sebagai laki-laki mesum yang paling Milea benci.
Digambarkan, Yugo mencoba merangkul Milea ketika mereka nonton film di bioskop. Upaya yang sia-sia, karena ditolak Milea dengn halus. Justru Yugo semakin “kurang ajar”, atas penolakan Milea. Tiba-tiba Yugo mencium Milea, secara paksa.
Tentu saja Milea terkejut dan marah atas peristiwa itu. Kemudian Milea berdiri dari tempat duduknya, bergegas pergi meninggalkan Yugo.
Tidak hanya itu. Selain Yugo, ternyata ada pria lain sebagai “pengganggu”, karena naksir Milea, Laki-laki itu adalah seorang guru Bahasa Indonesia bernama Dedi.
Pada suatu hari Pak Dedi menyampaikan surat yang berisi puisi, langsung ke tangan Milea.
Dilan dan beberapa kawannya pun tertawa, ketika mendapat kesempatan membaca surat-puisi itu di warung Bi Eem.
Ada lagi rentetan adegan yang perlu lebih disimak, karena merupakan gambaran puncak kekesalan Milea menghadapi berbagai persoalan yang telah menimpa dirinya.
Yaitu, ketika Yugo diantar Tante Anis, ibunya, datang ke rumah Milea untuk meminta maaf, tiba-tiba Dilan juga datang untuk menemui Milea.
Milea menjadi histeris. Ia bangkit dari tempat duduknya. Sambil menangis sesenggukan, Milea menggandeng tangan Dilan yang masih berdiri di depan pintu, lalu berteriak ke arah orang-orang, seisi rumah:
“Bilang ke mereka, Dilan. Bilang ke dunia bahwa kamu adalah pacarku.”
Dilan menurut. Dengan terbata-bata Dilan mengucapkan kalimat:“Saya adalah pacar Milea.”
Hubungan Milea dan Dilan kembali terusik oleh keterlibatan Dilan dalam geng motor yang berlanjut, hingga seorang kawan Dilan menjadi korban. Akew meninggal dunia.
Bunda Dilan pun menasehati Milea. Karena sudah berstatus pacar, Milea hatus tegas terhadap Dilan, terutama untuk hal-hal yang membahayakan diri Dilan.
Milea akhirnya meminta Dilan berhenti dari geng motor atau hubungan mereka berakhir. Namun, Dilan tetaplah seorang “panglima tempur” geng motor.
Dilan mengaku tidak suka jika hidupnya diatur-atur dan dikekang, termasuk oleh Milea.
Situasi tersebut membuat Milea semakin stres. Di satu sisi Milea selalu mengancam putus, jika Dilan masih bergabung dengan geng motor. Di sisi lain Dilan tetap pada pendiriannya, menjadi bagian dari geng motor.
Putus hubungan di antara mereka pun terjadi, karena kata “Kita putus”, telah disampaikan Milea kepada Dilan, setelah Milea menampar pipi Dilan di depan rumah Burhan.
Setelah putus, Dilan menjaga jarak dari kehidupan Milea. Hingga mereka lulus SMA.
Milea pindah ke Jakarta dan meneruskan kuliah di Universitas Indonesia. Sementara Dilan diterima di sebuah universitas ternama di Bandung.
Milea kemudian menemukan sosok lelaki lain yaitu Herdi, suaminya.
Meski sudah terbentang jarak dan waktu, Milea masih berusaha mencari Dilan. Tetapi Dilan sudah “menghilang” entah pergi ke mana.
Sayang, ibarat kata bijak yang menyatakan: “Tak ada Gading Yang Tak Retak” –Tak ada benar yang tak salah. Seperti juga narasi yang disampaikan oleh Sissy Priscillia sebagai narator, berlebihan di beberapa adegan. Sehingga mengesankan Milea Adnan Hussain, alias Milea, sangat “nyinyir”.
Akhirnya, film “Dilan 1991” yang memang film tentang kisah cinta di SMA itu, sepertinya tidak hanya Kids Zaman Now saja yang bisa menikmati film tersebut. Penonton yang pernah menjadi remaja dan mereka yang pernah mengalami masa pacaran sewaktu di SMA, dapat dipastikan akan menikmati bila menonton film ini. Sebagai sarana mereka untuk bernostalgia.
(*; foto ist