Jakarta,-
Danang Girindrawardana (Pengamat Kebijakan Publik), menyoroti rencana kebijakan pemerintah untuk menggabungkan pimpinan BP Batam menjadi ex officio Kepala Daerah Kota Batam. Kebijakan itu jangan menjadi yurisprudensi terburuk bagi pemerintah saat ini karena melakukan suatu keputusan yang menabrak berbagai regulasi dan peraturan setingkat Undang-Undang.
Hal tersebut dikemukakan Danang Girindrawardana, usai Diskusi Publik bertitel “Menakar Masa Depan Batam Pasca Pengalihan BP Batam”, Rabu (19/12/2018) di Jakarta yang diinisiasi INDEF.
Ada dua Undang-Undang penting yang dilanggar. Pertama, Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang mengamanatkan Kepala Daerah tidak boleh merangkap jabatan. Kedua, Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengamanatkan Kepala Daerah Tidak Boleh merangkap jabatan.
“Dan lebih konyol lagi, yang dirangkap jabatannya ini adalah satu lembaga negara namanya BP Batam, dilahirkan oleh Undang-Undang, mitranya Komisi VI DPR RI. Dan yang diarahkan satu lagi adalah Kepala Daerah, setingkat Undang-Undang juga, pejabat daerah oleh Undang-Undang Daerah ya kan. Satu, di mitra Komisi II DPR RI, satu di mitra Komisi VI DPR RI,” tegas Danang.
Jadi Kepala Daerah Kota Batam merangkap ex officio Kepala BP Batam ini mempunyai dua mitra strategis di DPR RI, yang tidak mungkin bisa terjadi adalah penyatuan struktur anggarannya. APBD ada di Pemkot, kemudian APBN ada di BP Batam. “Ini satu mekanisme yang sangat Bad Practices kalau ini terjadi,” lanjutnya.
“Jadi harapannya jangan buru-buru. Ini masih statement, ini masih press release oleh Menko Perekonomian, tapi kami pingin dikaji lagi. Seharusnya yang sekarang dilakukan adalah riset dahulu terhadap instrumen peraturannya, baru kemudian keputusannya meleburkan BP Batam kedalam Pemkot Batam,” tegas Danang.
Dan yang terjadi, terbolak baliknya paradigma berfikir yang kemudian membuat semua dunia usaha resah. Saat ini resah, dan inilah yang terjadi selama tiga tahun terakhir di Batam sehingga pertumbuhan ekonominya jeblok. Keresahan para pengusaha ini membuat mereka wait and see, membuat mereka tidak ekspansi, membuat mereka merelokasi, menutup usahanya. Situasi dan kondisi itukan muncul tetapi tidak banyak dipublikasikan.
Danang mencurigai bahwa ada grand design memunculkan skenario ini untuk “menenggelamkan” atau melemahkan Batam. Hal itu terlihat dengan jelas oleh publik, terlihat dengan jelas juga oleh para investor.
“Ada kekhawatiran rencana kebijakan untuk menggabungan antara pimpinan BP Batam menjadi ex officio Kepala Daerah Kota Batam itu justru menjadi bagian akhir dari upaya pelemahan Batam hingga saat ini,” ungkap Danang.
“Otomatis kalau Batam menjadi daerah otonom biasa, maka tidak akan mencapai tujuan atau misi Batam sebagai lokomotif kemajuan pertumbuhan ekonomi di Indonesia”
Menurut Danang, begitu banyak serial produk-produk kebijakan pemerintah yang terlihat jelas mereduksi semakin kecilnya peranan BP Batam. Dulu Otorita Batam dengan kewenangan yang besar kemudian menjadi BP Batam, kemudian ada perubahan dari Free Trade Zone (FTZ) menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), serta kemudian perubahan kepemimpinan di tengah jalan dan hingga sekarang dengan kemunculan pemikiran untuk meleburkan pimpinan BP Batam ex officio Kepala Daerah Kota Batam.
Melihat situasi seperti itu, dengan trend kebijakan yang muncul, memperlihatkan kita sedang melakukan suatu dekonstruksi terhadap Otorita Batam menjadi BP Batam, kemudian menjadi Batam seperti daerah otonom biasa. Apa dampaknya? “Otomatis kalau Batam menjadi daerah otonom biasa, maka tidak akan mencapai tujuan atau misi Batam sebagai lokomotif kemajuan pertumbuhan ekonomi di Indonesia,” ujar Danang.
Bahkan, Batam tidak menjadi istimewa lagi meskipun secara geografis dan geopolitik Batam istimewa. “Kemampuan kita untuk mempreteli keistimewaan itu terlihat jelas dari periode pemerintahan sejak dari 15 tahun yang lalu sampai dengan saat ini. Di mana suatu saat yang dekat nanti, Batam sudah menjadi sebuah daerah otonom biasa yang tidak ada bedanya dengan daerah lain di Indonesia,” ujarnya.
“Jadi implementasi otorita melalui pemikiran otonomi a simetris sudah hilang dari Indonesia. Karena satu satunya daerah dengan ekonomi a simetris itu ada di Batam. Selain satu daerah lagi yang memiliki kawasan otorita itu ada di Sabang,” jelas Danang mengingatkan.
Berdasarkan catatan, Batam menjadi suatu daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Dan sejak terbentuknya Otorita Batam hingga tahun 2016, Batam selalu menempati 5 tertinggi di Indonesia.
Malah pernah menjadi nomer 2 dan 3, setelah DKI Jakarta. Tapi di tahun 2016 karena masalah ekonomi global yang juga berdampak ke Indonesia hingga tahun 2017, tingkat pertumbuhan Batam cuma 2.1 persen. Ini bukan kesalahan di tingkat Batam, ini pengaruh situasi ekonomi dunia.
Dan catatan terakhir Danang Girindrawardana, selaku pengamat Kebijakan Publik, bahwa keputusan yang diambil Kepala BP Batam, Lukita, sangat tepat dengan menunda beberapa proyek berskala nasional yang cukup besar. Sambil menunggu status kelembagaannya yang belum jelas.
“Karena kalau beliau memutuskan sekarang dan tiba-tiba diambil alih oleh entitas lembaga lain atau pejabat politik lain, maka pertanggungjawabannya akan ada di pundak Kepala BP Batam. Kepala BP Batam tidak bisa mengontrol perjalanan pembangunnya. Di samping demi akuntabilitas dan lebih detailnya, supaya lebih pas dalam mekanisme ketatanegaraannya yang melibatkan asset-aset negara serta keuangan negara,” jelas Danang.
(*)