Visualindonesia, Jakarta,–
Di duga ada unsur money game dalam penjualan aplikasi Paytren, dua komunitas, Masyarakat Anti Ponzi (MAP) dan Paguyuban Santri Nusantara (PSN) mendesak Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk meninjau kembali dan mencabut Sertifikat Halal yang telah diberikan kepada Paytren.
Hal itu disampaikan Ketua MAP Firmansyah dan pengurus PSN Ustadz Asnawi Ridwan kepada sejumlah awak media saat menggelar press conference di Comedy Cafe, Thamrin City, Jakarta Pusat, Kamis (31/5/2018).
Sebelum menyimpulkan produk aplikasi Paytren yang di-klaim memiliki sekitar 2 juta mitra usaha itu terindikasi money game dengan unsur ketidak pastian dan perjudian, MAP dan PSN telah melakukan penelitian dan menggelar diskusi serta berusaha tabayyun ke pihak Paytren.
Menurut Firmansyah selama dua tahun berdiri anggota MAP yang tergabung dalam grup media sosial facebook telah mencapai 25 ribu orang.
“Kami sering melakukan diskusi dan analisa terkait praktek money game, di antaranya kepada Pandawa dan Paytren. Hasilnya kami meyakini Paytren bermasalah,” ujarnya.
Firmansyah juga menyatakan, sejak 3 bulan lalu banyak mitra Paytren yang baru menyadari menjadi korban karena mengalami kekecewaan dan merasa diperdaya. “Ada ratusan orang yang mengaku menjadi korban Paytren mengadu kepada kami,” ungkapnya.
Dari ratusan pengaduan itu kemudian dikelompokkan sesuai wilayah yang mewakili seluruh Indonesia, mulai dari Jawa, Sulawesi, Bali, NTB, sampai Sumatera. “ Karena kami bukan praktisi hukum, maka kami menunjuk tim pengacara yang dipimpin Rahmat Siregar SH untuk membantu para korban Paytren menuntut hak mereka,” papar Firmansyah.
MAP menganggap Paytren adalah bisnis dengan skema piramida yang akan mengakibatkan ketidak adilan kepada mitranya. “Mungkin itu kesimpulan yang paling ringan dari MAP selain iming-iming yang disampaikan kepada para mitranya,” jelas Firmannsyah.
Pada prakteknya, menurut Firmansyah, Paytren menggunakan bisnis binary atau dua kaki, artinya setiap orang yang ingin membeli produknya, sama dengan ikut serta dalam bisnisnya. “Paytren menjual aplikasi dengan harga bervariasi, mulai dari Rp25 ribu, Rp350 ribu, bahkan ada yang Rp10 jutaan,” tegas Firmanysah.
Lebihj jauh Firmanysah memaparkan, MAP tidak mempersoalkan produk seharga Rp25 ribu, mereka mempermasalahkan produk yang di atas Rp350 ribu itu. “Jika membeli yang senilai Rp 350 ribu maka dia sudah bisa memasarkan dan memiliki upline. Setiap satu up line, dia mendapat bonus Rp75 ribu, sistem bonus ini terus berlaku kepada up line di bawahnya secara berjenjang,” tuturnya.
MAP tegas Firmansyah, menilai Paytren masuk dalam katagori money game. “Disitu akan muncul ketidak-adilan, karena jika pada suatu saat terjadi titik jenuh, up line paling bawah tidak akan mendapat keuntungan dan hak yang sama dengan orang yang lebih awal ikut Paytren,” tuturnya.
Banyak mitra Paytren yang akhirnya tidak melanjutkan ‘bisnis’ itu, namun mereka tidak mempersoalkan kerugiannya. “Apalagi salah satu iming-imingnya adalah menjadi mitra Paytren sambil sedekah. Paytren meng-klaim bisnis mereka sudah sesuai syariah Islam, sementara masih banyak yang mempersoalkan keabsahan sertifikat halal yang didapat dari MUI,” jelas Firmanysah.
Terkait hal itu, Darso Arief Bakuama selaku Humas MAP mengingatkan kemungkinan kerugian yang akan dialami semua mitra Paytren jika benar aplikasi milik dai kondang Ustadz Yusuf Mansur itu mendapat lisensi dari Bank Indonesia sebagai e-money.
“Andai benar izin e-money Paytren sudah dikeluarkan Bank Indonesia, berarti Paytren harus mengikuti ketentuan Bank Indonesia untuk menghentikan praktek Multi Level Marketing (MLM) dan penjualan aplikasi,” ujar Darso.
Jika itu terjadi, Darso mempertanyakan nasib dua juta mitranya yang sudah mereka rekrut selama ini. “Wajar saja jika mereka mempertanyakan nasib uang mereka yang sudah masuk ke Paytren. Apakah cukup dengan alasan dijadikan sedekah saja. Ini akan menjadi masalah besar. Terbukti sudah banyak yang memberikan kuasa kepada kami untuk mempersoalkan itu,” ungkap Darso.
Sementara itu, Ketua Umum PSN Asnawi Ridwan yang mewakili alumnus pondok pesantren menyikapi keberadaan Paytren dari sudut pandang syariat Islam yang bersumber dari Alquran dan hadist. “Salah satu hadist menyebut, yang halal harus jelas dan yang haram harus jelas. Apabila tidak ada kejelasan maka hukum perkara itu adalah syubhat,” kata alumni Pesantren Lirboyo, Kediri tahun 2001 ini.
Asnawi memaparkan, PSN yang beranggotakan para alumni pondok pesantren se-Indonesia dengan pusat kegiatan di Depok merasa terpanggil untuk mengkaji setiap bentuk muamalah yang muncul pada akhir-akhir ini untuk dikaji secara intensif dan mendalam apakah sesuai dengan syariat Islam atau tidak.
“Kami tidak sembrono dan gegabah untuk membuat kesimpulan. Kami menghimpun semua informasi dan data, termasuk melakukan tabayyun dengan mendatangi DSN MUI pada bulan Oktober tahun 2017 terkait keluarnya sertifikat halal,” ujar Asnawi.
Upaya tabayyun itu dilakukan, menurut Asnawi karena PSN ingin mendapat penjelasan tentang logika syariah dari pengurus DSN MUI yang melatar-belakangi keluarnya sertifikat tersebut. “Sebab bagi kami sertifikat halal itu harus berlandaskan logika syariah yang kuat atau argumentasi fiqih berdasarkan dalil-dalil yang kuat,” tegasnya.
Namun jawaban DSN MUI saat itu menyuruh utusan PSN mendatangi kantor Paytren, sebab menurut pengurus MUI yang mereka jumpai, dalil-dalil terkait keluarnya sertifikat halal itu sudah diserahkan ke Paytren.
Kemudian pada bulan Februari 2018, utusan PSN datang ke Kantor Paytren. Disana mereka bertemu dengan pengawas syariah Paytren dan beberapa anggota DSN MUI. “Jawab mereka, kita akan diskusikan masalah itu dalam waktu dekat. Ternyata, apa yang kami lakukan tidak ditanggapi secara serius dan tidak ada konfirmasi lebih lanjut sampai saat ini,” ungkap Asnawi.
Asnawi menginfokan, pada tanggal 18 dan 19 Oktober 2017 di Trenggalek, Forum Musyawarah Pondok Pesantren Se-Jawa Madura dan Bali berkumpul membahas beragam persoalan umat Islam yang dianggap serius, salah satunya terkait status halal Paytren.
“Hasil musyawarah itu menghasilkan keputusan bahwa Paytren mengandung unsur keharaman berupa ketidak-jelasan dan perjudian. Berdasarkan itu, PSN mendesak DSN MUI untuk meninjau kembali dan mencabut sertifikat halal yang telah diberikan kepada Paytren. PSN juga memohon kepada Kementerian Agama agar lebih tegas menindak berbagai praktek money game yang terjadi pada dunia bisnis dan biro travel umroh,” tegas Asnawi.
Sementara itu, menyikapi harapan puluhan korban paytren yang telah memberikan kuasa kepada MAP dan PSN, selaku kuasa hukum, Rahmat Siregar SH mengaku akan melakukan upaya-upaya hukum dari level terendah seperti melakukan somasi terkebih dahulu.
“Kita lihat seperti apa tanggapan dari Paytren terkait somasi yang akan kami layangkan nanti. Jika hasilnya tidak seperti yang diharapkan para korban, kami akan melakukan upaya hukum lebih lanjut. Selama melakukan upaya hukum, kami tetap berlandaskan azas praduga tidak bersalah, apalagi ini terkait langsung dengan seorang tokoh seperti Ustadz Yusuf Mansur,” jelas Rahmat.
Rahmat berharap, dengan adanya upaya hukum ini akan membuka mata bagi mitra Paytren lain di seluruh Indonesia yang merasa dirugikan dan menjadi korban pembodohan Paytren untuk melaporkan. “Kami siap menampung semua laporan untuk ditindak lanjuti secara hukum,” janji Rahmat.
(a yen; foto dm