Visual Indonesia, Padang,-
Dirjen Kebudayaan Kemdikbud, Hilmar Farid, saat HPN 2018 lalu, kembali mensosialisasikan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dihadapan pejabat Dinas Kebudayaan Kabupaten/ Kota se Prov. Sumatra Barat, dosen, seniman, wartawan, dan peserta lainnya.
Dimana Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid menjelaskan latar belakang, proses, tantangan, dan hambatan. Sampai akhirnya, impian UU Kebudayaan yang digagas sejak 1982, dan draftnya terus berubah, sekarang ini sudah final, setelah diketok palu dalam rapat paripurna DPR-RI, tanggal 27 April 2017 lalu.
Banyak pro kontra memang, mengiringi kelahirannya ini. Hilmar paham, karena begitu banyak definisi dan pendekatan yang dipakai, baik di kalangan internal maupun eksternal. Jika di dalam definisi kebudayaan menurut Koentjaraningrat terdapat tiga hal pokok : gagasan, perilaku dan produk, maka UU Pemajuan Kebudayaan ini lebih condong ke produk budayanya.
Seperti yang dapat kita baca dalam pasal 5, objek pemajuan kebudayaan meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat dan olahraga tradisional.
Adapun penamaan UU ini “Pemajuan Kebudayaan”, bukan yang lain, tambah Hilmar, dikaitkan dengan Undang Undang Dasar 1945, negara memajukan kebudayaan. Tepatnya UUD 1945 Pasal 32, berbunyi “(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangan nilai-nilai budayanya.”…
Isi dari pemajuan kebudayaan dalam UU Pemajuan Kebudayaan ada empat langkah yakni Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan.
Langkah Pelindungan mencakup inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan dan publikasi. Pengembangan mencakup penyebarluasan, pengayaan keberagaman, pengkajian. Pemanfaatan mencakup membangun karakter bangsa, meningkatkan ketahanan budaya nasional, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pengaruh Indonesia dalam hubungan internasional. Dan Pembinaan mencakup pendidikan dan pelatihan di bidang kebudayaan, standarisasi dan sertifikasi SDM Kebudayaan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan, dan peningkatan kapasitas tata kelola kebudayaan dan pranata kebudayaan.
Hilmar mengusulkan, pejabat yang mengurus kebudayaan harus orang-orang yang mengerti kebudayaan. Jangan orang yang tidak mengerti kebudayaan, dan tidak memiliki kompeten diangkat menduduki jabatan tertentu di bidang kebudayaan. Ia memberi contoh dunia Kedokteran, yang diangkat ya harus tenaga dokter, tidak bisa kompetensi yang lain.
Terkait dengan SDM Kebudayaan, terutama yang ada di pemerintahan, Hilmar mengakui belum ideal. Hal ini tidak bisa lepas dari sistem rekrutmen dan pengangkatan pejabat. Hilmar mengusulkan, pejabat yang mengurus kebudayaan harus orang-orang yang mengerti kebudayaan. Jangan orang yang tidak mengerti kebudayaan, dan tidak memiliki kompeten diangkat menduduki jabatan tertentu di bidang kebudayaan. Ia memberi contoh dunia Kedokteran, yang diangkat ya harus tenaga dokter, tidak bisa kompetensi yang lain.
Sementara itu di SDM Kebudayaan yang ada di masyarakat, kini sedang dilakukan verifikasi dan kompetensi. Salah satu tujuannya adalah di era pasar bebas ini, SDM Kebudayaan, termasuk di dalamnya seniman, agar bisa berkiprah di tingkat nasional, regional dan maupun internasional.
Dalam konteks seni-budaya sebagai pembinaan karakter, Hilmar berharap UU Pemajuan Kebudayaan dapat membantu seniman percaya diri dan menjelajah dunia dengan ekspresinya.
Terlecut oleh pendapat Presiden Jokowi, bahwa seni budaya adalah kor bisnis, atau dalam kesempatan lain Presiden menyatakan bahwa DNA bangsa Indonesia adalah seni budaya, ditambah UNESCO menilai bahwa Indonesia merupakan negara adidaya kebudayaan, Hilmar dengan kendaraan UU Pemajuan Kebudayaan nampak semangat membereskan tata kelola kebudayaan di dalam negeri. Juga bersemangat meningkatkan popularitas seni budaya Indonesia di tingkat internasional.
(kbre; foto mm