Visual Indonesia, Jakarta,–
Darso Arief Bakuama bersama para pelapor lainnya, yang melaporkan Ustadz Yusuf Mansur di Polda Jatim terkait investasi condotel Moya Vidi yang diduga bermasalah. Sekaligus menegaskan sejak awal memang pelaporan kasus tersebut tidak menyinggung Paytren (12/9).
Hal itu harus dikemukakannya, melihat kuasa hukum Paytren, Ina Rachman SH yang mengatakan bahwa pemanggikan Ustadz Yusuf Mansur di Polda Jawa Timur tak ada kaitannya dengan program investasi bisnis Paytren. Bahkan Ina Rachman mengemukakan bahwa kliennya, UYM tidak ada keterkaitannya dengan Condotel Moya Vidi maupun dalam Koperasi Indonesia Berjamaah. Hal tersebut, lantaran bisnis-bisnis tersebut dikelola oleh masing-masing manajemen yang berbeda-beda.
“Tapi fakta membuktikan, cara-cara perdamaian UYM dengan para korbannya. Bukti sesungguhnya dirinya bersalah. Jadi saya memang sejak awal sama sekali tidak sedikitpun menyinggung soal bisnis direct selling Paytren dalam laporan kami ke Polda Jatim. Meskipun saya tahu banyak bisnis itu juga. Semua bisa dilihat kok di BAP saya,” ungkap Darso.
Kasus ini menjadi perhatian publik setelah Darso Arief Bakuama bersama sejumlah korban Investasi Condotel Moya Vidi melaporkannya ke Polda Jatim, dengan nomor laporan polisi LPB/742/VI/2017/UM/JATIM. Selain melibatkan koordinator investor di Surabaya, CV. Bintang Promosindo, PT. Graha Suryamas Vinandito dan Koperasi Indonesia Berjamaah.
Persoalan investasi bermasalah ini diawali adanya dana Patungan Usaha Hotel Siti yang mandek. Bunga yang harus dibayarkan kepada investor jemaah makin membengkak. Terdesak akan hal itu dibukalah bisnis investasi Condotel Moya Vidi. Investasi baru itu berawal dari Suryati Suharyo, Pemilik Grup Vidi, yang memiliki Gedung Pertemuan Graha Sarina Vidi di Sleman, DI Yogyakarta. Suryati ingin agar di dekat gedung pertemuan itu dibangun sebuah hotel bintang tiga. Suryati lantas bekerjasama dengan Harjanto Suwardono, seorang pebisnis hotel.
Guna mewujudkan Condotel Moya Vidi, digandenglah sejumlah pihak seperti PT Graha Suryamas Vinandito (GSV) berperan sebagai pengembang, dan CV Bintang Promosindo yang mengurusi teknis registrasi calon investor dan kegiatan pembangunan.
Disisi lain, PT. Veritra Sentosa Internasional (VSI), yang pada awalnya mengeluarkan produk MLM Miracle. Mengeluarkan aplikasi penyedia layanan jasa bernama Virtual Payment atau V-Pay. Lewat gawai itu, para penggunanya—disebut “mitra” dengan membayar Rp 275.000,—bisa membeli pulsa, token listrik, dan sebagainya. Belakangan, karena banyak masalah, V-Pay berubah nama menjadi PayTren.
PT. VSI melakukan pembelian 200 kamar dari kondotel yang belum dibangun itu. Untuk itu, dibukalah investasi patungan usaha baru bernama investasi Condotel Moya Vidi, dimulai sejak 22 Februari 2014. Harga tiap sertifikat investasi itu dipatok minimal Rp 2,7 juta. Dan PT GSV mematok setiap kamar seharga Rp 807 juta. Karena itu, untuk membeli 1 kamar, setidaknya harus terkumpul 299 sertifikat investasi. Artinya, ada sekitar 59.800 sertifikat investor yang harus terkumpul atau setara Rp 161,5 miliar.
Memanfaatkan para mitra PT VSI untuk menjadi investor, diiming-imingilah mereka akan menerima keuntungan jika kondotel sudah beroperasi dan nilainya akan terus terkerek (progresif) seiring harga kondotel melambung setiap tahun.
2 Januari 2015, para investor—yang kadung membeli sertifikat kepemilikan kondotel—menerima surat dengan kop surat Koperasi Merah Putih. Isinya, PT VSI batal membeli 200 kamar Condotel Moya Vidi dari PT GSV dengan alasan dana investasi “tidak sanggup” memenuhi untuk pembelian kamar. Dari sana, secara sepihak, seluruh investasi yang semula untuk Condotel Moya Vidi dialihkan ke Hotel Siti. Pengalihan ini dikelola oleh Koperasi Merah Putih.
Melalui surat tersebut, investor diberitahu akan mendapat keuntungan dengan cara bagi hasil, yang akan dibagikan setiap tahun setelah objek investasi beroperasi dan meraup laba. Problemnya pembangunan Hotel Siti belum rampung dan belum mendapatkan izin dari pemerintah Kotamadya Tangerang.
Dan Koperasi Merah Putih patut diduga sebagai koperasi yang melakukan kegiatan investasi “ilegal” itu berubah nama menjadi Koperasi Indonesia (Kopindo) Berjamaah. Meski begitu, Kopindo tetap memakai SK lama milik Koperasi Merah Putih.
“Kita harus menghentikan pola-pola pengumpulan dana masyarakat yang ilegal itu. Sehingga masyarakat tercerahkan mana yang sedekah dan mana investasi yang sebenarnya. Jalan damai dan pengembalian uang jamaah itu menjadi bukti pengakuan Yusuf Mansur atas kesalahannya. Namun ketika muncul korban-korban lain, Yusuf Mansur yang pernah berjanji akan mengembalikan uang nasabah yang merasa jadi korban, malah mempersulit,” pungkas Darso.
(mm/ foto ayen