Oleh Hardo Sukoyo*
Kabar yang amat menyentak perhatian masyarakat Indonesia secara luas atas kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar, telah dilansir oleh beberapa media online (daring) awal April 2017 lalu. Diberitakan, Krisna Wahyu Nurachmad (15 tahun), siswa kelas 10 SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah (Jateng), pada Jumat 31 Maret 2017, ditemukan tewas di barak sekolahnya, sebagai korban pembunuhan.
Berita selanjutnya mengemukakan, misteri pembunuhan tersebut berhasil dibongkar dan Kepolisian Daerah (Polda) Jateng telah menetapkan AMR (15), sebagai tersangka pembunuhan. Kapolda Jateng Irjen Pol Condro Kirono mengatakan, AMR merupakan siswa seangkatan dengan korban. Pengungkapan kasus ini dipublikasikan Polda Jateng melalui gelar perkara di Mapolres Magelang.
Menurut Irjen Pol Condro Kirono, pelaku dikenakan pasal 80 ayat 3 jo pasal 76c UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan pasal 340 sup pasal 338 KUHP tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman 15 tahun penjara dan atau denda Rp 3 miliar. Pelaku saat ini sudah ditahan di tahanan khusus anak di markas II Polres Magelang Kota.
Motif pembunuhan itu, karena sakit hati tersangka kepada korban. Menurut Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Djarod Padakova, korban pernah mememergogi AMR melakukan pencurian buku tabungan dan uang siswa lain. Waktu itu, korban hanya menegur AMR.
Faktor lainnya, ponsel milik AMR yang dipinjam korban sempat disita sekolah saat ada penggeledahan, karena aturan sekolah. Siswa kelas 10 tidak diperbolehkan membawa ponsel di lingkungan sekolah. Alasan mengapa membunuh korban, diungkapkan AMR saat mengakui perbuatannya kepada penyidik, pada Jumat 31 Maret 2017 pukul 21.30 WIB malam.
Sebelumnya berbagai media daring memberitakan bentuk keprihatinan yang serupa, bahwa Ahmad Andika Baskara (17 tahun), siswa jurusan Teknik Mesin kelas 9 SMK Bunda Kandung, tewas dalam tawuran di fly over Pasar Rebo, Ciracas, Jakarta Timur, pada 14 Februari 2017.
Berita yang bersumber dari Kapolres Jakarta Timur, Kombes Agung Budijono, saat jumpa pers di Mapolres Jakarta Timur, Jatinegara, Senin, 27 Februyari 2017 menunjukkan bahwa Tawuran yang menewaskan Andika Baskara, itu berawal dari saling mengejek dan menimbulkan bentuk ketersinggungan. Kemudian melakukan hal yang sangat disayangkan, tawuran menggunakan senjata tajam.
Kemudian pada 12 Maret 2017 diberitakan, tawuran antarpelajar SMK yang terjadi di Bekasi, Jawa Barat, menelan korban. Satu orang tewas dan satu orang lainnya mengalami luka bacok. Tawuran itu terjadi di Kelurahan Jatibening, Pondok Gede, Kota Bekasi, Sabtu 11 Maret 2017 sekitar pukul 13.30 WIB. Edi Gilang Febriyanto (17 tahun) dari SMK Abdi Karya, meninggal dunia dan Abigail alias Abi (16) luka bacok akibat tawuran itu.
Rentetan peristiwa kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar tersebut di atas, jelas merupakan tragedi kemanusiaan, kekerasan berujung maut, linangan air mata dan dukacita yang mendalam. Nyawa melayang sia-sia, karena masih adanya budaya kekerasan di lingkungan pendidikan kita. Budaya yang seharusnya dibuang jauh-jauh, karena titak sesuai lagi dengan perkembangan jaman, saat ini.
Tentunya, hukum harus ditegakkan. Demikian pula hukuman harus dipastikan. Semua itu sebagai sarana untuk menumbuhkan efek jera dan pembinaan, bagi mereka yang terbukti melanggar undang-undang yang berlaku, sekaligus sebagai pengingat agar peristiwa yang mencemaskan seperti itu, tidak terjadi kembali.
Tidak ada seorang pun yang menginginkan terjadinya tragedi. Apalagi yang berkaitan dengan hilangnya nyawa orang. Tragedi sudah terjadi, yang bisa dilakukan kemudian ialah memastikan, peristiwa menyedihkan seperti itu tidak terulang. Mudah-mudahan demikian adanya.
Apalagi bila hal itu dikaitkan dengan “Target Kemendikbud Dalam Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2017”, yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy dalam Rapat Kerja bersama Komisi X DPR RI, Kamis malam (01/09/2016), di ruang rapat Komisi X DPR RI, Senayan, Jakarta dan dirilis oleh Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tanggal 2 September 2016.
Sekadar untuk mengingat kembali, kutipan Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Tahun 2017, yang ditulis pengelola web Wemdikbud, di antaranya sebagai berikut;
Dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul, kompetitif, dan berkarakter, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus berupaya melakukan pengembangan pendidikan dan kebudayaan dengan merujuk pada Nawacita yang telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yakni peningkatan kualitas hidup, revolusi karakter bangsa, peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, serta memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Terdapat tujuh arah kebijakan pembangunan pendidikan tahun 2017, yakni memenuhi pembiayaan kegiatan prioritas nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2017 untuk pencapaian Nawacita.
“Penekanan pada upaya peningkatan kualitas pembelajaran di semua jenjang dan jalur pendidikan, baik negeri maupun swasta, dengan kesenjangan kualitas yang semakin kecil,” tutur Mendikbud saat menyampaikan arahan kebijakan pendidikan kedua di depan 38 orang anggota Komisi X DPR RI kemarin malam.
Arah kebijakan pendidikan selanjutnya adalah memberikan perhatian lebih besar pada daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Memastikan masyarakat miskin dan kelompok marjinal, lebih mudah mengakses layanan pendidikan dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Memanfaatkan anggaran pembangunan pendidikan semaksimal mungkin, dirasakan oleh masyarakat. Memastikan keterlibatan publik secara maksimal, dan memperkuat tata kelola pembangunan pendidikan dan kebudayaan, termasuk pelaksanaan anggaran secara transparan dan akuntabel.
Selain menyampaikan arah kebijakan pembangunan pendidikan, Mendikbud juga menyampaikan tujuh arahan kebijakan pembangunan kebudayaan tahun 2017.
Arah kebijakan tersebut adalah, meningkatkan pemahaman publik akan arti penting dari nilai-nilai luhur sejarah dan budaya bangsa dan relevansinya bagi kehidupan masakini di berbagai sektor, dan bekerjasama dengan berbagai kementerian dan lembaga, baik dalam negeri dan lembaga negara lain, untuk meningkatkan toleransi dan meredam kekerasan sektarian.
Kemudian meningkatkan pendidikan seni dan budaya sejak usia dini dan menyediakan sarana dan prasarana kesenian baik untuk keperluan produksi maupun apresiasi, mengembangkan sistem registrasi dan pengelolaan warisan budaya yang efektif, membuka pusat-pusat kegiatan seni dan budaya (rumah budaya) di daerah pinggiran, meningkatkan promosi budaya antar daerah.
“Kami juga akan mengembangkan indeks pembanguan manusia (IPM/HDI) untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia di bidang kebudayaan,” ujar Mendikbud.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sepertinya sangat dimungkinkan bila kemudian Mendikbud Muhadjir Effendy mau menggunakan Film Indonesia, khususnya sebagai sarana bagi pengembangan “Pendidikan dan Kebudayaan untuk Revolusi Karakter Bangsa dan Kebinekaan”. Sebagaimana diamanahkan oleh UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, pada BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 ayat 12. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan kebudayaan. Itu artinya, film secara legal berada di bawah binaan Mendikbud.
Sementara konsiderans UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menegaskan di antaranya; Film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman.
Pasal 3 BAB II Bagian Kedua UU Perfilman, menegaskan bahwa Perfilman bertujuan di antaranya, terbinanya akhlak mulia dan terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa.
Sedangkan pada Pasal 4 BAB II Bagian Ketiga UU Perfilman, menegaskan bahwa Perfilman memiliki fungsi, budaya, pendidikan, hiburan, informasi, pendorong karya kreatif, dan ekonomi.
Berbagai kutipan UU Perfilman yang diutarakan di atas, dimaksudkan sebagai pijakan seandainya Mendikbud Muhadjir Effendy mau menggunakan Film Indonesia, sebagai sarana menuju “Pendidikan dan Kebudayaan untuk Revolusi Karakter Bangsa dan Kebinekaan”.
Mengingat film sebagai tontonan memiliki potensi untuk mempengaruhi selera, sikap, dan tata nilai, film Indonesia hendaknya benar-benar dirasakan sebagai sarana pendidikan. khususnya bagi generasi muda Indonesia.
Tentu saja untuk pilihan film sebagai sarana pendidikan formal atau non-formal bagi peserta didik, dari SD, SLTP, sampai SLTA, hanya Mendikbud yang memiliki kewenangan.
Bila film sebagai sarana pendidikan non-formal, Pemerintah idealnya mampu menciptakan iklim usaha film yang kondusif, guna mendorong lebih banyak lahirnya film-film yang layak disebut sebagai film pembangun karakter bangsa. Apakah itu film yang bermuatan kepahlawanan, cinta tanah air, cinta lingkungan, kebudayaan, dan kearifan lokal. Bukan jenis film yang lain.
(*Penulis adalah Wartawan Senior, Pengamat Film, dan Pengamat Kebijakan Perfilman Indonesia)