Visual Indonesia, Jakarta,-
Satu kesimpulan Raker Komisi X dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pariwisata, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, perwakilan Kementerian Agama, dan perwakilan Kementerian Sekretariat Negara yakni menyepakati untuk mengesahkan RUU Kebudayaan pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2016-2017, selambat-lambatnya 27 April 2017 dalam pengambilan keputusan tingkat II di Sidang Paripurna DPR RI.
Sedangkan pembahasan RUU Kebudayaan akan diselesaikan selambat-lambatnya pada 17 April 2017 di tingkat I atau raker, lanjut Ketua Komisi X DPR RI, Teuku Riefky Harsya, didampingi Wakil Ketua Komisi X sekaligus Ketua Panja RUU Kebudayaan, Ferdiansyah.
Raker seperti diketahui menyepakati butir-butir substansi dalam RUU Kebudayaan yang telah dibahas Panja Komisi X dengan pemerintah. Butir-butir substansi itu meliputi beberapa hal, diantaranya mengenai ketentuan umum, pemajuan, hak dan kewajiban, tugas dan wewenang, kelembagaan, pendanaan, penghargaan, hingga ketentuan pidana.
Disepakati pula untuk penghargaan bagi orang yang berjasa dalam pemajuan kebudayaan diatur dalam bab tersendiri, untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam usaha pemajuan kebudayaan. Namun untuk ketentuan pidana, masih kata Riefky, raker menyepakati masih diperlukan diskusi yang mendalam, agar tidak terjadi tumpang tindih dengan peraturan dan perundang-undangan yang ada.
Dalam pembahasan berikutnya oleh panja, raker menyepakati hasil Seminar Nasional Kebudayaan yang diselenggarakan panja pada 6 September 2016 dan 8 Februari 2017 lalu di Jakarta, untuk menjadi dasar pembahasan.
Seminar itu menghasilkan beberapa rumusan, salah satunya terkait pendanaan. Terkait pendanaan, dirumuskan bahwa pendanaan di bidang kebudayaan tidak bisa hanya bersandar pada APBN tapi harus melibatkan publik dan swasta. Sinergi sangat diperlukan antara berbagai pemangku kepentingan untuk melakukan investasi di bidang kebudayaan.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, pemerintah menyampaikan pandangan bahwa pendanaan untuk pemajuan kebudayaan hendaknya dilihat dalam kerangka investasi dan bukan sekedar biaya atau beban bagi anggaran. Hal ini dikarenakan investasi di bidang kebudayaan sangat diperlukan untuk membuat landasan baru bagi pembangunan ekonomi yang berbasis kebudayaan.
Pemerintah memandang, pendanaan di bidang kebudayaan tidak hanya bersandar pada APBN dan APBD, tetapi juga membuka ruang kerja bagi keterlibatan publik dan swasta, serta perlunya membentuk mekanisme pendanaan alternatif untuk pemajuan kebudayaan.
(tjo; foto muller