Visual Indonesia, Jakarta,-
“Boven Digul” ialah film pertama buatan PH asli Papua, Foromako Matoa Indah Film, yang dirilis mulai 9 Februari 2017, di seluruh bioskop Tanah Air. Film arahan sutradara FX Purnomo itu berlatar kearifan lokal Papua untuk mengangkat kisah nyata dokter yang menantang maut, melakukan operasi sesar dengan silet di belantara Digoel, Papua, sekitar tahun 1990-an.
Mengamati film “Boven Digoel” sangat jelas terlihat bahwa rumusan “film dokumenter” tetap mendominasi film ini, karena berbagai peristiwa yang tersaji dalam layar, terkesan hanya berbagai peristiwa kenyataan. Dan itulah sebagai syarat mutlak yang dituntut dari film dokumenter. Yaitu, kenyataan itu tampil sebagai kenyataan. Bukan berbagai peristiwa hasil dari rekayasa. Seperti sutradara membuat adekan dalam film, misalnya.
Walaupun begitu, bila lebih diamati lagi seluruh penuturan kisah film “Boven Digoel”, terlihat adanya upaya mendramasasikan adegan yang mengesankan peristiwa nyata, atau mendramasasikan film dokumenter. Oleh karena alasan itu, film “Boven Digoel” akan lebih tepat bila dikatakan sebagai film yang menggunakan pendekatan, katakanlah “Dokudrama”. Dan akan lebih tepat lagi bila dikatakan sebagai “Dokudrama” bergaya kekinian, ala media sosial. Twitter, #kultwit… atau #sinetwit yang membatasi tulisan sebagai informasi, hanya sebanyak 140 karakter saja.
Sehingga informasi yang terkandung di dalam setiap adegan dari awal hingga akhir film, singkat tetapi jelas. Baik itu ketika penyampaian informasi melalui gambar, dialog para tokoh, mau pun narasi tokoh utamanya, semuanya tersaji dengan singkat, lengkap, dan jelas.
Sementara itu, dengan diproduksinya film “Boven Digoel” lebih lanjut bisa ditafsirkan sebagai upaya produser film tersebut untuk merebut pasar pada komunitas masyarakat tertentu. Sebab memproduksi film dengan sajian utama kearifan lokal Papua, setidaknya produser film itu telah menggali potensi daerah Papua, sebagai kekuatan untuk menempatkan filmnya lebih dekat di hati komunitas penontonnya, yang memiliki kesamaan adat dan budaya.
Bahkan dengan diproduksinya film “Boven Digoel”, dapat dikatakan pula sebagai hal yang positif, karena kembali muncul kesadaran produser film kita untuk tidak selalu berorientasi kepada setting Jakarta, dengan segala permasalahannya dalam membuat film.
Lewat film “Boven Digoel” yang pendekatannya “dokudrama” itu, sepertinya pembuatnya ingin menunjukkan kepada masyarakat penontonnya, bahwa film bukan barang dagangan semata. Film harus memiliki kegunaan, setidaknya memberikan informasi, mendidik, dan dalam tingkat tertentu sebagai bahan perenungan.
Film “Boven Digoel”, film yang mengusung tema kesehatan berdasarkan kisah nyata dokter muda, yang bertugas di Puskesmas pedalaman Boven Digoel, Papua itu, merupakan gambaran dari film yang memiliki kegunaan tersebut. Memberikan informasi yang akurat, mendidik, dan dapat dipakai sebagai bahan perenungan.
Puncaknya, melalui gambaran lengkap, bagaiman situasi kenyataan dan kondisi kejiwaan para pelaku dalam proses persiapan, sebelum dan ketika menantang maut, melakukan operasi sesar dengan silet, untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang akan melahirkan.
Adegan tersebut juga dapat ditafsirkan sebagai pantulan cermin pandangan hidup mereka yang berkarakter optimistis. Mereka memandang segala kesulitan yang ada, bukan dari sudut yang serba gelap, pesimis, tidak memiliki harapan, melainkan dari sudut yang optimistis. Berpengharapan dalam menghadapi segala hal.
Secara keseluruhan film ini sarat dengan hambatan. Walaupun begitu, konflik yang ada bukan benturan antara tokoh protagonis dangan antagonis, tetapi akibat dari ketidak tahuan, ketertinggalan, serta keterbatasan prasarana dan sarana. Antagonis dalam film ini diwakili oleh suasana kehidupan sosial masyarakat yang ada, pada zamannya.
Inti cerita film yang diadaptasi dari buku kisah nyata berjudul “Catatan Seorang Dokter dari Belantara Boven Digoel”, karya John Manangsang itu, menuturkan; Dokter John Manangsang (Joshua Matulessy), yang bertugas di salah satu puskesmas di Tanah Merah, Boven Digoel, bersama stafnya harus melakukan operasi sesar terhadap Agustina, yang telah melahirkan sembilan kali. Tragisnya, Puskesmas Tanah Merah tidak mempunyai sarana dan tenaga kesehatan yang memadai untuk operasi ini.
John memerintahkan Bidan Anthoneta dan Suster Lidia untuk pergi ke Perum Telkom guna melakukan sterilisasi alat-alat operasi, karena listrik di Puskesmas baru menyala malam hari. Suster Ancelina ditugaskan menyiapkan kamar ruang operasi. John sendiri harus pergi ke gudang penyimpanan obat di susteran. Sesampainya di gudang, John diberitahu bahwa pintu terkunci, dan kunci dibawa oleh suster ke Merauke.
Setelah mengambil cairan obat bius dirumahnya, yang berjarak satu kilometer dari puskesmas dengan berjalan kaki, dan ketika tiba di puskesmas, Mantri Thomas memberitahu kalau pisau operasi sudah habis. John lalu memberikan uang seratus rupiah untuk membeli silet. Sementara Bidan Anthoneta dan Suster Lidia disuruh merebus alat-alat operasi dengan nmenggunakann kayu bakar. Tepat pukul 10.10 WIT, operasi sesar terhadap ibu Agustina dilaksanakan dengan silet.
Dengan inti cerita seperti itu, Jujur Pranoto dan FX Purnomo, penulis skenario “Boven Digoel” dengan pendekatan “Dokudrama” bergaya ala Twiter, yang padat isi, menjadikan berbagai informasi yang terkandung di dalam keseluruhan adegan, dari awal hingga akhir film, singkat tetapi jelas. Baik itu ketika penyampaian informasi melalui gambar, dialog para tokoh, mau pun narasi tokoh utamanya. Semuanya tersaji dengan lengkap dan jelas.
Kalau pun muncul tawa penonon, hal itu merupakan reaksi sepontan atas beberapa dialog antar tokoh, yang terkesan “naïf”. Betapa sangat bersahaja pola pikir mereka, dalam menyelesaikan beberapa masalah yang mereka hadapi.
Film “Boven Digoel” pun, menjadi film yang komunikatif, karena berbagai persoalan yang muncul mudah dicerna oleh penonton, untuk memahami pesan moral yang terkandung di dalamnya. Tidak berlebihan kiranya bila kemudian dikatakan, itulah keberhasilan skenario film ini. Komunikatif dalam bertutur.
Skenario kemudian dijabarkan oleh FX Purnomo, sebagai sutradara. Berdasarkan penafsirannya, Ia wujudkan realitas fisik para tokoh, maupun realitas kejiwaan beberapa tokoh dalam film ini. Kemampuan sutradara untuk menjadikan mereka lebih “hidup” dalam peran masing-masing, tampak dalam gambar filmis pada layar. Ditambah lagi dengan musik karya Thoersi Argeswara yang mampu membangun suasana batin tokoh maupun adegan, sehingga mampu menambah naik – turunya nilai dramatik keseluruhan cerita film.
Kelanjutan dari film “Boven Digoel” itu pun sepertinya dapat menjadi bahan perenungan, betapa mulianya dokter yang berupaya semaksimal mungkin untuk menyelamatkan ibu melahirkan di pedalaman Papua, dalam kondisi seperti yang digambarkan dalam film itu.
Produser / Ide Ceritra: John Manangsang. Produser Eksekutif: H. Sahri. Superfisi Produksi: Toto Soegriwo. Sutradara: FX Purnomo. Penulis Skenario: Jujur Pranoto & FX Purnomo. Penata Kamera: Yudi Datau. Penata Artististik: Dani Fadriyana. Penata Musik: Thoersi Argeswara. Pemain: Christine Hakim, Joshua Matulessy, Ira Dimara, Maria Fransisca, Echa Raweyai, dan Edo Kondologit.
(h sukoyo; foto ist/mm