Jakarta,-
Ahmad Raja Siregar, S.E,.S.H, didampingi M. Aidil Fitra Saragih (ki) S.H,.M.Hum dan Jaka Marhaen, S.H. (ka) menegaskan bahwa pemberitaan terkait “Dugaan Suap di MaxPower Indonesia” di sejumlah media online beberapa minggu ini sangat tendensius dan tidak berdasar.
Pemberitaan menyebutkan dugaan suap itu terkait tender pembangkit listrik kepada penjabat di Indonesia kurun waktu 2012 – 2015. Bahkan berdasarkan informasi dari “oknum tak bertanggung jawab” disebutkan pula adanya konflik internal perusahaan terkait dugaan adanya penggunaan dana yang mencurigakan, yang diduga di lakukan oleh pendiri PT. MaxPower yang berada di Indonesia. Sekaligus di kaitkan juga dengan adanya restrukturisasi jajaran Komisaris dan Direksi.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Raharjo, dalam pemberitaan menyatakan tengah mempelajari kasus dugaan suap dari perusahaan pembangkit listrik, PT. MaxPower Indonesia kepada penjabat pemerintah Indonesia, yang ditengarai sebagai pengeluaran anggaran illegal. Selanjutnya Agus Raharjo juga menunggu informasi dari Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat yang memperoleh informasi dari hasil investigasi oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) untuk memahami masalah dan fakta kasus tersebut lebih dalam.
Dan tuduhan tak berdasar itu, lanjut Ahmad Raja Siregar, S.E,.S.H, selaku kuasa hukum pendiri PT.MaxPower Indonesia, Mr. Sebastiaan Pierre Sauren, Mr. Willibald Goldschmidt, dan Mr. Arno Hendriks, menyebutkan bahwa para pendiri PT. Maxpower Indonesia di duga melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang di duga dengan cara suap kepada beberapa penjabat pemerintah Indonesia.
Faktanya saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ataupun pihak Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) melalui Federal Bureau Of Investigation (FBI) yang menyatakan bahwa para pendiri PT. Maxpower Indonesia “di periksa ataupun di tetapkan” sebagai tersangka dalam dugaan suap terkait tender pembangkit listrik, kepada pejabat di Indonesia.
Fakta lainnya, tambah Ahmad Raja Siregar, saat ini juga tidak ada kejelasan siapa sumber informasi menyesatkan ini? Siapa pula menyuap siapa? Dalam proyek apa yang diduga terjadi penyuapan itu? Oleh karenanya, LBH Yayasan Berdaya, selaku kuasa hukum dari ketiga pendiri sekaligus pemilik saham 30% dari PT. MaxPower Indonesia, dalam waktu dekat segera “menyurati” puluhan media online yang memuat pemberitaan ini.
Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan atas hukum, di mana terdapat mekanisme hukum yang harus di lalui dalam menemukan suatu tindak pidana. Dalam permasalahan tersebut diatas, kuasa hukum berpedoman pada asas “Presumption of Innocence” (praduga tak bersalah).
Hal tersebut sejalan dengan UU RI No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 5 ayat (1) “ Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta praduga tak bersalah”.
Juncto UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 5 huruf (i) “Memberikan informasi yang benar, seimbang dan bertanggung jawab “; juncto Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, Pasal 27 ayat (3) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat di aksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Penyampaian informasi yang tidak benar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap media merupakan suatu bentuk perbuatan fitnah terhadap para pendiri PT. Maxpower Indonesia, Mr. Sebastiaan Pierre Sauren, Mr. Willibald Goldschmidt, dan Mr. Arno Hendriks, sebagai mana terdapat dalam Pasal 310 ayat (1), “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Juncto Pasal 311 (1), “ Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis di bolehkan untuk membuktikan apa yang di tuduhkan itu benar, tidak membuktikanya, dan tuduhan di lakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka ia di ancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Juncto Pasal 315, “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri, dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam dengan penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribuh lima ratus rupiah.
Juncto Pasal 317 ayat (1), “Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis mupun untuk di tuliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun “ sebagai mana terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Taat Aturan
Lebih lanjut, Ahmad Raja Siregar mengemukakan bahwa PT. MaxPower Indonesia merupakan perusahaan besar yang taat akan aturan dimana setiap tahun di adakan audit financial oleh salah satu perusahaan audit terbesar ke empat (4) serta terbaik dan diakui secara internasional, PWC. Jadi jika ada temuan audit internal PT. MaxPower Indonesia dalam kurun waktu 2012 – 2015 disinyalir sebagai pengeluaran tidak pantas, maka dapat kita analisa bahwa di dalam perusahaan tersebut sedang ada gejolak ataupun permasalahan internal yang harus di selesaikan secara internal juga.
PT. Maxpower Indonesia selama berdiri dan memperoleh pekerjaan tender-tender di Indonesia selalu berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, apalagi PT. Maxpower Indonesia merupakan perusahaan asing (PMA). Dimana patuh akan aturan hukum yang berlaku di wilayah kerjanya merupakan suatu kewajiban yang “tidak bisa di tawar lagi”.
Sehingga jika ada opini terhadap suatu temuan pengeluaran mencurigakan merupakan hak perusahaan yang selayaknya di gunakan untuk konsumsi internal perusahaan bukan untuk masyarakat umum.
Jika adanya temuan yang merupakan suatu perbuatan tindak pidana sudah selayaknya dibuat sebagai suatu bentuk laporan kepada pihak yang berwajib agar dilakukan penyelidikan untuk di tindak lanjuti sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Permasalahan internal PT. Maxpower Indonesia yang seharusnya di selesaikan secara internal juga karena PT. Maxpower Indonesia mempunyai mekanisme dan aturan yang jelas terhadap setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang bernaung di dalamnya.
PT. Maxpower Indonesia di dirikan berlandaskan hukum dan jika di temukan suatu perbuatan yang melanggar hukum maka akan diproses secara hukum yang berlaku dalam perusahaan, bukan dengan melakukan opini yang tidak dapat di pertanggung jawabkan.
Mr. Sebastiaan Pierre Sauren, Mr. Willibald Goldschmidt, dan Mr. Arno Hendriks, merupakan pendiri PT. Maxpower di Indonesia, menetap di Indonesia, beristerikan perempuan Indonesia. Bahkan meski diantara mereka berkebangsaan Belanda, namun orang tua mereka berasal dari Indonesia.
Jadi, tegas Ahmad Raja Siregar, pada prinsipnya mereka mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi guna memberikan suasana aman serta persaingan yang sehat dalam berbisnis di Indonesia.
Bahkan berkenaan dengan permasalahan pemberitaan yang menghubungkannya dengan Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) melalui Federal Bureau of Investigation (FBI), menjadi hal yang “mencoreng-moreng” kedaulatan hukum Indonesia. Apalagi pemberitaan PT. MaxPower Indonesia melibatkan pula Standard Chartered didalamnya.
Sehingga jelas bagi kuasa hukum, papar Ahmad Raja Siregar, patut diduga keras adanya “Upaya penggiringan informasi negatif atas investasi asing di Indonesia. Termasuk disebut-sebutkannya mantan Panglima TNI, Endiartono Sutarto dan mantan komisioner KPK, Erry Harjapamengkas, di dalam pemberitaan menyesatkan tersebut.
Seperti diketahui, Tim Kuasa Hukum Mr. Sebastiaan Pierre Sauren, Mr. Willibald Goldschmidt, dan Mr. Arno Hendriks, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Berdaya, terdiri dari M.L. Wibisono, S.H.,M.H; Ahmad Raja Siregar, S.E,.S.H,; Doddy P Hidayat, SE.,; H.M. Said Nizar, S.H.,LLM,; Syamsul B Ilyas, S.H,; Soehandoyo, S.H,M.H, Erwin Budiman, S.H,.M.H,; Neshawaty Arsyad, S.H,.M.H,; M.Aidil Fitra Saragih, S.H,.M.Hum,; dan Jaka Marhaen, S.H.
(tjo/ foto gha