Jakarta,-
Pilgrimage sebagai ungkapan ekspresi tentang diri. Sebuah persembahan Kersan Art Studio dan Galeri Nasional Indonesia atas pameran solo perupa Lenny Ratnasari Weichert yang mengeksplorasi karya seni instalasi tentang identitas perempuan, spiritualitas, kesadaran teritori, serta wacana Islam dalam konteks budaya. Di helat 20 September 2016 – 1 Oktober 2016, di Gedung B Galeri Nasional Indonesia.
Lenny Ratnasari Weichert, malang–melintang di berbagai aktivitas seni rupa internasional seperti di Jerman, Singapura, Inggris, Belanda, dan Hungaria ini menyatakan “Pilgrimage sesungguhnya pengalamanku melihat ke dalam diri sendiri”. Sebuah bentuk empati pada nasib perempuan lain. Sebuah pemicu perbincangan sejarah kelam yang dialami para perempuan di Indonesia pada masa lalu.
Dikuratori Bambang Asrini Widjanarko dan satu Ko-kurator, Agung Frigidanto, tiga karya utama Lenny pun terbagi menjadi tiga zona penting pameran ini, yakni: satu, To Be or Not To Be, kristalisasi pengalaman-pengalaman dan identifikasi memori masa lalu yang beragam, seperti kegundahan sebagai seorang perupa perempuan dan perannya sebagai manusia yang menjaga reproduksi generasi.
Kedua; Dinners Club, perjamuan makan malam yang unik dan sangat spesial dari tokoh sejarah dan dunia mitologi. Sebuah zona yang kompleks dan bertumpuk-tumpuk pemahaman juga tafsir. Meja yang membentuk gender female, video dokumentasi dan piring-piring yang tersemat lambang-lambang dari 9 perempuan: Malahayati, Colliq Pujie, Bunda Teresa, Siti Khadijah, Helena Blavatsky, Aung San Suu Kyi, Dewi Sri, Venus, serta Dewi Kwan Im.
Yang ke-3, yang terakhir, Homage to Anonymous, narasi tentang Islam, namun tidak mengulik soal scriptural kitab suci. Lebih pada sejarah dan budaya Islam di Tanah Air. Mengulik peran Fatimah Binti Maimun sebagai hulu para Wali, yakni Wali Songo. Yang mengkritisi konsep dominasi patriarki di masyarakat. Sekaligus sebagai empati pada perempuan-perempuan yang dihilangkan dalam sejarah.
“Pameran solo Lenny Ratnasari Weichert yang pertama kali di Galeri Nasional Indonesia patut diapresiasi. Sebelumnya ia telah beberapa kali berpameran secara bersama di sini, seperti Pameran Crossing Signs (2011) dan Wall of Fiction (2012) dan hal tersebut menjadi kesempatan yang berharga bagi eksistensi Lenny Ratnasari Weichert di medan seni rupa Indonesia,” ujar Kepala Galeri Nasional Indonesia, Tubagus ‘Andre’ Sukmana.
(mull/mtdj; foto ist