Jakarta,
Menampilkan 15-20 karya lukisan abstrak yang dihasilkannya sejak satu tahun terakhir, Haryanto Gunawan menawarkan perbincangan dan wacana dalam Pameran Tunggal yang bertajuk Colours [e]Motions, 11- 13 Juni mendatang di Ciputra Artpreneur, Ciputra World 1.
Pameran tersebut guna menyegarkan kembali ihwal seni lukis abstrak kontemporer di Indonesia, sekaligus dikuratori Eddy Soetriyono dan Aminuddin TH Siregar, dengan tuan rumah Rina Ciputra.
Pameran yang akan diresmikan Deddy Kusuma, selaku salah satu kolektor di Indonesia itu, melihat bahwa lukisan-lukisan abstrak Haryanto Gunawan sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari sejarah seni lukis Indonesia. Karena berbeda dengan di Eropa dan Amerika, perkembangan seni lukis abstrak di tanah air tumbuh subur melalui institusi pendidikan seni, khususnya pada dasawarsa 1960-an.
Masa-masa itu, lukisan abstrak diasosiasikan sebagai manifestasi ideologi liberal Barat yang tidak berpijak dari khazanah budaya asali Indonesia. Bahkan corak abstrak, di tengah perseteruan ideologi Barat-Timur di era Sukarno, identik dengan kebarat-baratan. Corak ini sering menuai kritik tajam termasuk dari maestro seni lukis Indonesia S. Sudjojono.
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, corak abstrak mengalami masa puncak, terutama setelah depolitisasi seni pasca 1965. Corak abstrak kemudian identik dengan kemodernan seni. Melalui pelukis-pelukis abstrak Indonesia terkemuka seperti Ahmad Sadali, Oesman Effendi, Rusli, dan Zaini pada gilirannya membangun pengertian baru terhadap corak ini.
Lukisan-lukisan Haryanto Gunawan merefleksikan dinamika kehidupan dalam budaya kontemporer yang bergerak dan berubah dengan cepat. Ini merupakan zaman desentralisasi dalam segala hal yang tidak menyandarkan tumpuan pada satu titik, melainkan plural.
Begitupula, kini kita tidak lagi menempatkan fokus hanya pada satu titik, namun kehidupan sehari- hari yang kita jalani saat ini mengharuskan kita untuk dapat multi-tasking dan juga, dalam beberapa hal, multi perspektif. Ketika melihat satu lukisan Haryanto, misalnya, kita seakan-akan melihat sebuah background. Namun yang kita lihat justru berbagai ragam ekspresi yang mencerminkan multi-tasking tersebut.
“Secara pribadi, saya sangat dominan, namun kini saya ingin menghapus sifat dominasi tersebut dengan melayani orang lain, sehingga dalam kehidupan sehari-hari akhirnya saya memutuskan untuk menerjunkan diri dalam pelayanan sosial. Pada awal melukis, sifat dominasi dan berani saya masih sangat menonjol, namun belakangan mulai berkurang dan pada akhirnya saya merasa bahwa courage tidak hanya ada dalam bentuk kompetisi,” ujar Haryanto Gunawan.
Seperti diketahui, minatnya muncul setelah dia melewati masa pendidikan di Fachhochscule Rheinland Pfalz. Main, Jerman. Haryanto Gunawan mengambil jurusan Visuale Kommunikation pada 1986. Ia kemudian mengamati seni lukis khususnya abstrak selama lebih dari 20 tahun. Sempat membuka biro desain dan mendirikan majalah seni rupa C-Arts dan passion yang kuat dalam dirinya. Haryanto Gunawan akhirnya memutuskan terjun untuk berkarya seni lukis dengan corak abstrak.
Pameran Tubggal Haryanto Gunawan tersebut didahului diskusi dengan tema “What and Why Abstract?’ (11/6 -16.00 WIB), dengan para pembicara Eddy Soetriyono, Aminudin TH Siregar dan Syakieb Sungkar. Diskusi yang mengundang mahasiswa dari beberapa kampus di Jakarta dan Bandung seperti IKJ, ITB, Universitas Multimedia Nusantara, Universitas Pelita Harapan dan BINUS, diharapkan dapat memberikan masukan mengenai trend lukisan abstrak kepada para mahasiswa.
(mdtj;foto ist