Amsterdam,-
Pemandangannya hijau dan udara yang dingin. Tanaman-tanaman hijau itu adalah kebun kopi yang lokasinya agak ke barat dari Danau Laut Tawar nan cantik. Kopinya bukan sembarang kopi, karena itu kopi Takengon atau yang biasa disebut kopi Gayo. Itulah tanaman yang ditanam Marius (1930) diatas tanah Onderneming kopi, yang dinamainya dengan nama Djamoer Barat.
Djamoer, karna disitu banyak sekali jamur, dan barat karna lokasinya agak ke barat kalau di lihat dari Danau Laut Tawar. Jadi bagi masyarakat Gayo, Djamoer Barat diartikan dengan “ Tempat Wisata”. Karena lokasinya yang memilki pemandangan indah.
Marius bersama Ginah dan 30 keluarga lainnya menetap di Takengon, Aceh itu, hingga terusir oleh kehadiran Jepang di Aceh. Marius dan Ginah sudah lama meninggal, (1984 dan 1982). Kini cucunya, Michiel Eduard, menelusuri kembali jejak nostalgia bekas perkebunan kopi Djamoer Barat, milik sang kakek di Takengon Atjeh. Dari situlah Michiel bertekad menghidupkan kembali Kopi Gayo Djamoer Barat, 100% Arabica.
“Orang Belanda harus tau kalau kopi gayo ini luar biasa. Kopi itu tidak dibuat di Italia, tapi di Indonesia. Saya akan perkenalkan kembali, kopi gayo khas djamoer barat Indonesia di Belanda. Dan saat ini sudah dapat di nikmati di Toraja House, yang berlokasi di kota Amsterdam dan di desa Voorschoten. Selain tentunya siap dipasarkan kepada mereka yang ingin merasakan nikmatnya kopi gayo khas Djamoer Barat,” ujar Michiel penuh semangat.
Sedikit menengok perjalanan kebelakang, bahwa Ginah (isteri Marius), seorang Jawa, lahir di onderneming Tandjong Koeba, Sumatra, di tahun 1912, anak perempuan Moerti dan Mangoenpawiro. Sementara Marius Eduard Donkersloot lahir pada tahun 1897 di Amsterdam. Dan orangtua Marius merupakan pemilik pabrik rokok Modjo, yang tembakaunya dibawa dari Indonesia.
Tahun 1916, Marius bekerja di perusahaan kelapa sawit, Harisson & Crossfield, di Medan. Dari sana Marius dipindahkan ke Tandjong Koeba, onderneming tembakau, dekat Tebing Tinggi, sebagai administrateur dan seleksionis untuk tembakau selama 10 tahun. Tahun 1928, selama satu tahun Marius pergi ke Amerika dan Jepang dan beberapa negara lain. Barulah sejak tahun 1930 menetap di Takengon, Aceh, diatas onderneming kopi Djamoer Barat.
Tahun 1942 Jepang masuk dan Marius di masukan ke kamp Jepang di si Renggo Renggo dan kamp Kota Radja. Bahkan ibunda Marius sempat meninggal di salah satu kamp Jepang tersebut. Sementara Ginah dan 3 putrinya di internasi ke kamp Jepang di Bireun, dan kerap berpindah – pindah. Praktis sepanjang masa itu, perkebunan kopi Djamoer Barat, tak tahu lagi nasibnya. Hingga Marius, Ginah dan anak anaknya pindah ke Medan karena Marius mulai bekerja di AVROS, sebuah perusahaan kelapa sawit. Dan Tahun 1946, saat keluarga Donkersloot mengunjungi keluarga ke Belanda, Indonesia pun tengah bergejolak di awal-awal kemerdekaannya sehingga keluarga Donkersloot memutuskan tidak kembali lagi ke Medan, Sumatera Utara.
Tahun 2015, Michiel Eduard kembali ke Takengon, Aceh untuk mengurai kembali Kopi Gayo Djamoer Barat yang 100% Arabika. Karena kopi ini sudah mendapat sertifikat Indikasi Geografi (IG) terutama Kopi Arabikanya, yang menunjukkan daerah asal suatu barang karena faktor lingkungan geografis, alam, manusia ataupun kombinasinya. Sehingga, menghasilkan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
“Itu artinya, kopi Gayo Djamoer Barat ini hanya bisa dihasilkan di daerah Takengon dan sekitarnya. Tanah Gayo merupakan tempat yang terbaik untuk perkebunan kopi dengan ketinggian 1.000 sampai 1300 meter dpl,” pungkasnya.
(mdtj foto dok