Jakarta,-
Kecintaannya menari dan kegemarannya menonton wayang orang semasa kecil, justru membawa totalitasnya untuk menjawab kegelisahan seniman seni tradisi Indonesia di panggung teater pertunjukkan untuk bisa sejajar ditampilkan di tengah-tengah gegap gempitanya industri budaya pop di republik tercinta ini. Keindahan Tarian dan kekagumannya menonton wayang orang di mata kanak-kanaknya, kini telah melahirkan sejumlah karya pertunjukkan terbaiknya mulai dari Tarian Kontemporer, Opera Kolosal Kendedes, lakon Maha Bandana hingga Tari Klasik Keraton yang akan dipentaskannya pada Festival Tari Dunia ke X, April 2016 mendatang.
Adalah Eny Sulistyowati SPd, SE, seniman tari tradisi yang juga seorang bussiness women itu, yang melihat korelasi totalitasnya berkesenian selama ini apakah penting atau tidak penting ataukah diperlukan atau tidak diperlukan, hanyalah merupakan penggalan bagian dari proses perjalanan panjang seorang anak kecil yang senang menari dan menonton wayang orang tersebut. Dan tontonan yang menarik serta begitu hebatnya dari panggung wayang orang telah mengasah intuisi alam bawah sadarnya untuk senantiasa menumbuhkan rasa cinta terhadap kesenian tradisi yang tumbuh di Indonesia.
Meski menjadi telah menjadi pimpinan pada sebuah institusi (Pertambangan, Cargo dan Pariwisata), toh intuisinya untuk menari terus bergejolak begitu kuatnya. Walau pilihan tersebut tidaklah selalu berjalan mulus. Apalagi pilihan berkesenian sebagai sebuah pilihan hidup di Indonesia yang kaya dengan kebudayaan justru tidak diperhatikan. Oleh karenanya memunculkan tekad agar hidup berkesenian harus bisa dihargai di negeri sendiri dan itu butuh perjuangan yang sungguh-sungguh.
“Berkesenian tidak saja membutuhkan manajemen artistik saja, tapi butuh manajemen produksi yang mampu dikemas sesuai jamannya. Sekaligus tentunya kemampuan promosi didalamnya. Jadi butuh kemasan yang tepat yang dilakukan secara profesional,” papar Eny, yang telah memiliki pengalaman 4 tahun di Wayang Orang Sriwedari yang sudah berusia 106 tahun, tentulah punya makna tersendiri baginya.
Tahun 2012 menjadi tonggak penting atas pilihan hidupnya untuk mengerahkan segenap upaya agar seni tradisi di Indonesia harus dihargai dengan seni yang berkualitas, maka bersama Swargaloka lahirlah opera kolosal Kendedes Dibalik Tahta di Taman Budaya, Surabaya, Jawa Timur yang mendapatkan apresiasi masyarakat yang luar biasa. Bahkan dalam pementasan yang menggunakan konsep baru efek 3D dalam pementasan Wayang Orang sehingga memaksa harus menyiapkan Big Screen untuk mengakomodir tata panggung, tata cahaya dan tata suara yang lebih baik selain untuk mengakomodir pengunjung yang membludak.
Dengan kata lain, panggung Wayang Orang tidak saja membutuhkan manajemen artistik atau produksi saja tapi juga membutuhkan “Nyangit” dari pertunjukkan tersebut, yang mampu menjual, itulah yang dilakukan jajaran PT Tri Ardhika dibawah kepemimpinan Eny Sulistyowati SPd, SE. Sukses memanggungkan Kendedes di sejumkah kota, lalu bergulir pertunjukkan lainnya Maha Bandana (2013, yang berkisah tentang Rajutan Tali-Tali Berbisa Sang Tokoh Sengkuni).
Setelah memanggungkan 8 pertunjukkan sepanjang 2012- 2016, maka Tari Klasik Jawa kemudian menjadi concern selanjutnya Eny dalam menyambut Festival Tari Dunia X, April 2016 mendatang. Oleh karenanya sejak setahun lebih dirinya telah melakukan observasi serta research literasi tentang Tari Klasik Keraton yang akan dipentaskannya tersebut. Bahkan sinopsisnya telah secara intens digarap sepanjang 6 bulan belakangan ini. Tari Klasik Keraton tersebut yakni Tari Bedhaya Minangkalbhumi, yang menceritakan tentang pencarian kebahagian sejati yang harus dilalui melalui sebuah perjalanan, perjuangan dan percintaan. Lantas, bagaimana lakon tersebut dimajnkannya bersama 9 penari lainnya, Eny Sulistyowati hanya berujar pelan, semoga gelaran Tari Bedhaya yang sangat klasik dan sarat ritual tidak saja sebagai sebuah tontonan semata tapi sekaligus sebagai tuntunan serta tatanan.
(mdtj; foto Muller