Jakarta,-
“Di atas bale belajar baca Qur’an, turun ke latar belajar maen pukulan”.
Begitulah masyarakat Betawi dikenal sangat religius, dimana belajar agama dan maen pukul atau pencak silat adalah hal yang wajib. Tak heran bila anak muda Betawi selalu dituntut untuk rajin beribadah dan mampu menjaga diri dengan mempelajari maen pukulan atau pencak silat. Dimana akhirnya pencak silat menjadi salah satu kebudayaan milik masyarakat Betawi.
Betawi sebagai kota dengan berbagai ragam budaya dari suku-suku di Nusantara hingga bangsa lain seperti Arab, Melayu, India, Cina, Portugal, Belanda dan sebagainya.
Kemajemukan ini menyebabkan terjadinya pertukaran seni, budaya, adat istiadat hingga ilmu beladiri yang lebih popular dengan istilah Maen Pukulan atau pencak silat. Salah satunya silat Beksi.
Seni beladiri Beksi, merupakan perpaduan antara bela diri dengan seni, keindahan, kecepatan dan ketepatan dalam mencapai sasaran lawan. Kata BEKSI sendiri mengandung arti, BEK adalah bertahan, dan SHI adalah empat penjuru.
Silat Beksi berasal dari China yang dibawa Lie Ceng Oek. Di Tanah Betawi Lie Ceng Oek menurunkan ilmu beladirinya kepada muridnya yang bernama Ki Marhali bin Sainan, H Ghazali bin Gatong, dan kemudian diturunkan lagi kepada H Hasbullah bin H Misin dan generasi berikutnya.
Dan sejarah mencatat ke empat orang inilah yang mengembangkan ilmu beladiri Silat BEKSI dan selanjutnya dikukuhkan sebagai guru Besar BEKSI. Untuk itu sebagai bentuk kepedulian akan kelestarian budaya betawi khususnya pencak silat BEKSI, maka dibentuklah Yayasan Beksi yang menaungi Perguruan Silat Betawi Beksi 4 Bintang.
Beksi 4 Bintang adalah bentuk penghargaan sekaligus penghormatan kepada 4 tokoh Guru Besar Beksi yaitu Lie Ceng Oek, Ki Marhali bin Sainan, H. Ghazali bin Gatong dan H. Hasbullah bin H Misin. (*gha/mdtj