Visualindonesia.com,-
Jakarta kembali menutup bulan Oktober dengan cahaya layar perak yang hangat. Setelah lima hari perjalanan penuh kisah dan diskusi, Jakarta Film Week 2025 resmi berakhir pada Minggu malam, 26 Oktober 2025, di CGV Grand Indonesia.
Festival film Jakarta yang memasuki edisi kelimanya ini bukan sekadar perayaan tontonan, tetapi juga ruang perenungan tentang arah industri sinema Indonesia di tengah perubahan zaman.
Dalam suasana yang hangat dan penuh antusiasme, Festival Director Rina Damayanti membuka malam penutupan dengan refleksi yang menggugah. Ia menekankan bahwa setiap film yang ditayangkan selama festival adalah jembatan yang menyatukan pengalaman manusia.
“Melalui setiap pemutaran dan momen berbagi, kita diingatkan bahwa sinema menyatukan kita, menjembatani jarak, menyalakan empati, dan membuka hati. Kami bangga melihat bagaimana industri film Indonesia terus berkembang dan berevolusi,” ujar Rina.
Nada serupa juga disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, yang menegaskan komitmen pemerintah daerah terhadap penguatan ekosistem film dan ekonomi kreatif ibu kota. Ia menyebut Jakarta Film Week sebagai kebanggaan warga Jakarta yang mampu menghadirkan karya-karya berkelas dunia di tengah kota.
“Selama lima hari, kita menikmati beragam karya luar biasa dari sineas berbagai negara. Saya bersyukur masyarakat Jakarta mendapat kesempatan menyaksikan begitu banyak cerita dan perspektif,” ucapnya, menutup sambutan dengan ajakan hangat: “Sampai bertemu di Jakarta Film Week 2026!”
Sementara itu, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, menyoroti peran festival ini sebagai jendela diplomasi budaya Indonesia ke dunia. Ia menyebut Jakarta Film Week sebagai wadah yang tidak hanya menumbuhkan apresiasi, tetapi juga menggerakkan ekonomi kreatif.
“Festival ini adalah jembatan yang menghubungkan masyarakat, mempertemukan gagasan, dan membuka peluang baru bagi sinema Indonesia,” tuturnya.
Malam puncak kemudian beralih ke momen yang paling dinanti: pengumuman pemenang penghargaan film. Dalam kategori kompetisi utama, Global Feature Award diberikan kepada “The Devil Smokes” karya Ernesto Martinez Bucio yang dinilai menghadirkan dunia sinematik dengan realisme sosial yang kuat.
Dari ranah lokal, Direction Award jatuh kepada “Crocodile Tears” karya Tumpal Tampubolon — sebuah dongeng gelap yang memikat lewat penguasaan bahasa sinema dari visual hingga penulisan.
Sementara itu, kategori film pendek internasional dimenangkan “A Very Straight Neck” karya Neo Sora, dan Global Animation Award diraih “And Granny Would Dance” karya Maryam Mohajer yang menonjol lewat keberanian visual dan pesan pemberdayaan perempuan.
Di kategori nasional, “Salon Gue Aje” karya Tahlia Motik membawa pulang Jakarta Film Fund Award berkat potret jujurnya tentang wajah kota yang berubah akibat gentrifikasi.
Tahun ini juga menghadirkan penghargaan baru, Nongshim Award, yang memberi apresiasi kepada karya film panjang “Crocodile Tears” dan film pendek “A Tale for My Daughter” (Tutaha Subang) karya Wulan Putri. Penghargaan ini menyoroti keberanian sineas Indonesia dalam mengeksplorasi isu-isu sensitif dengan kedewasaan berpikir.
Dari ranah pengembangan talenta, tiga produser muda — Hanna Humaira, Abby Latip, dan Haediqal Pawennei — terpilih untuk mengikuti Platform Busan 2026 melalui program Producers Lab.
Dukungan serupa juga datang dari Manajemen Talenta Nasional (MTN) yang memberikan Development Grant kepada Mozad Irvany untuk proyek The Boy with His Mother’s Statue, serta sejumlah penghargaan pitching forum bagi proyek-proyek potensial seperti “Dancing Gale”, “All Things Real and Unreal”, dan “Pingpong” yang berhasil menyabet tiga penghargaan industri sekaligus.
Puncak malam terasa semakin hangat dengan penayangan Closing Film “Dopamin” karya Teddy Soeria Atmadja. Film ini menutup festival dengan nada reflektif, menghadirkan kisah pencarian kebahagiaan di tengah dunia yang semakin kompleks.
Produser Gobind Vashdev menyebut, “Dopamin” sebagai karya yang lahir dari kebutuhan manusia untuk terus percaya pada cinta.
“Film ini adalah pengingat bahwa cinta adalah satu-satunya obat untuk tetap bahagia,” ujarnya dengan senyum.
Namun Jakarta Film Week 2025 tidak berhenti di sini. Dalam penutupan yang sarat kabar baik, diumumkan bahwa pada tahun 2026, Indonesia akan menjadi fokus negara untuk program Next Step Studio, hasil kolaborasi antara La Semaine de la Critique–Cannes, KawanKawan Media, dan DW.
Kolaborasi ini menjadi langkah strategis dalam memperluas jangkauan sinema Indonesia di panggung global. Produser Yulia Evina Bhara menilai inisiatif tersebut sebagai momentum penting.
“Ini adalah cara membuka jalur internasional bagi sineas muda Indonesia, memperkuat kolaborasi lintas budaya yang tetap berakar pada identitas lokal,” katanya.
Ketika layar terakhir meredup malam itu, tepuk tangan panjang penonton menandai bukan sekadar akhir festival, melainkan awal dari perjalanan baru bagi sinema Indonesia.
Jakarta Film Week 2025 telah menegaskan dirinya bukan hanya festival film Jakarta, melainkan ruang yang menyalakan kembali keyakinan bahwa setiap kisah di layar adalah bentuk doa bagi masa depan sinema tanah air.
(*/dra; foto: ist





