Bali,-
Pusat Koordinasi Hindu Indonesia, Puskor Hindunesia, menolak reklamasi Teluk Benoa demi keberlangsungan eksistensi Hindu terkait budaya, tradisi dan kearifan lokalnya. Atau dengan kata lain juga menolak lantaran akan rusaknya Bali baik secara sekala maupun niskala.
Dari Sisi Parahyangan (Konsep Ketuhanan Hindu dan Agama) bahwa Teluk benoa adalah bagian sumber air yang disucikan, jadi bukanlah air sembarang yang kita ciptakan sendiri, tapi berasal dari perpaduan sumber air laut (kuasa dari Sanghyang Baruna) dan air sungai (kuasa dari Dewi Gangga).
Dan memanipulasi terhadap air ini berarti berurusan tidak cuma dengan manusia yang masih memanfaatkannya, tapi juga dengan para penguasa air yang disebutkan diatas.
Reklamasi Teluk Benoa akan mengakibatkan kesakralan tempat-tempat suci yang ada disekitar tempat itu akan berkurang, karena dipengaruhi aktifitas dari pemanfaatan lahan reklamasi yang tidak memberikan kenyamanan (leteh) pada tempat-tempat suci disekitarnya seperti Pura Candi Narmada, Pura Sakenan, Pura Dalem Peed, dan seterusnya.
Selanjutnya dipastikan Reklamasi berdampak pada terjadinya abrasi pada tempat-tempat parahyangan lain yang ada di Bali seperti di wilayah Denpasar (Pura Sakenan, Pura Candi Narmada, Pura Segara, Pura Padanggalak), wilayah Gianyar (Pura Masceti, Pura Pura Er Jeruk, Pura Dalem Rangkan), Jembrana (Pura Purancak, Pura Rambut Siwi), dan banyak Pura-Pura yang ada di sepanjang pesisir terancam akan tidak bisa kita temukan lagi.
Dampak pawongan reklamasi sangat besar yakni mengakibatkan hilangnya rasa “sagilik saguluk sabayantaka” dan semakin meningkat yang berujung pada “mati ci hidup kai” (hidup sendiri-sendiri). Dan harmoni antar desa pekraman yang ada akan terpecah-pecah dan mudah menjadi sumber kehancuran sistem sosial di Bali. Desa pekraman hanya akan menjadi simbol adat, bukan lagi benteng pertahanan untuk menjaga Budaya, Tradisi dan Agama Hindu di Bali.
Reklamasi menjadikan sistem ekonomi Bali yang bertumpu pada Pariwisata Budaya akan melemah dan cenderung memburuk karena semua titik-titik sebaran distribusi tujuan wisata tidak merata. Konsep ini sangat bertentangan dengan cita-cita almarhun Prof. Dr. Ida Bagus Mantra untuk menjadikan Pariwisata Budaya Bali yang berbasis Komunitas (Masyarakat Bali), bukan berbasis investor.
Akhirnya konsep Pariwisata Budaya, hanya akan menjadi kenangan, karena budaya bukan lagi menjadi daya tarik orang untuk ke Bali.
Sementara itu, Balai Wilayah Sungai Bali-Penida Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum di Denpasar mencatat, tahun 2009 abrasi terjadi di sepanjang 181,70 kilometer dari total panjang pantai di Bali 437,70 km.
Sedangkan Tahun 1987 abrasi di Bali tercatat terjadi di sepanjang 49,95 km. Artinya, dalam waktu lebih dari 20 tahun terjadi penambahan abrasi sepanjang 131,75 km garis pantai atau rata-rata 5,98 km per tahun.
Dan abrasi di pantai Bali terbukti mengakibatkan kerusakan infrastruktur pariwisata, lahan pertanian, dan kawasan suci, misalnya, Pantai Kuta (Kabupaten Badung), Pantai Sanur dan Pantai Padanggalak (Denpasar), Pantai Lebih (Gianyar), Pantai Candidasa dan Pantai Ujung (Karangasem), Pantai Lovina (Buleleng), serta Pantai Cupel dan Banyumala (Jembrana).
(ist/ gha; foto ist