Visualindonesia.com,-
Dari jantung hutan Kalimantan yang kaya akan mitos dan tradisi, “Tale of the Land” muncul sebagai film yang menghadirkan kisah memukau masyarakat adat yang terancam oleh perubahan zaman.
Karya ini siap mencuri perhatian di Busan International Film Festival (BIFF) 2024 dengan penayangan perdana (world premiere)-nya.
Disutradarai oleh Loeloe Hendra, film ini mengajak penonton menyelami fantasi dan realitas kehidupan di atas air, menghadirkan latar alam yang menakjubkan sekaligus menggugah kesadaran akan isu-isu tanah adat yang semakin terdesak.
“Tale of the Land” bukan sekadar film, tetapi sebuah perjalanan emosional yang menyatukan imajinasi dan realitas sosial masyarakat Dayak di Kalimantan. Dengan latar perairan terbuka dan alam yang liar, film ini menonjolkan keindahan sekaligus ketegangan hidup di tengah ketidakpastian alam.
Dalam persaingan ketat di program New Currents Busan International Film Festival 2024, film ini tidak hanya menjadi tontonan visual yang mengesankan, tetapi juga menawarkan narasi mendalam tentang trauma, identitas, dan perlawanan terhadap perubahan yang tak terhindarkan.
Film ini merupakan debut Loeloe Hendra sebagai sutradara dan penulis. KawanKawan Media, rumah produksi di balik suksesnya film-film pemenang penghargaan seperti “Autobiography” dan “Tiger Stripes,” kembali menghadirkan karya inovatif yang menggabungkan fantasi dan realitas dalam “Tale of the Land”.
Dengan lebih dari 90% pengambilan gambar dilakukan di atas air, film ini berhasil menyuguhkan suasana yang immersive dan mempertegas elemen fantasi yang melingkupinya.
Cerita berpusat pada May, seorang gadis Dayak yang diperankan oleh Shenina Cinnamon, yang tinggal bersama kakeknya di rumah terapung. May dihantui oleh trauma kematian orangtuanya dalam konflik tanah, membuatnya tidak bisa menginjakkan kaki di daratan.
Karakter May menjadi simbol perjuangan masyarakat adat yang tanah leluhurnya terancam oleh modernisasi dan eksploitasi lingkungan. Penonton akan diajak merenungkan apa arti kehilangan tanah bagi seseorang yang terlahir di atasnya, namun tidak bisa kembali menginjakkan kaki di sana.
Sutradara Loeloe Hendra menjelaskan bahwa “Tale of the Land” adalah refleksi atas kondisi sosial di Kalimantan saat ini. Ia ingin mengajak penonton bertanya, “Apa yang terjadi jika manusia tidak bisa lagi hidup di atas tanahnya? Apa arti tanah bagi kita jika kita tidak bisa menginjaknya lagi?”
Film ini memadukan antara mimpi masa kecil sang sutradara dan realitas yang dihadapi masyarakat adat di tengah perubahan global.
Shenina Cinnamon dan Arswendy Bening Swara memimpin jajaran pemain dengan performa yang menjanjikan. Shenina kembali tampil memukau setelah sukses dalam “24 Jam Bersama Gaspar” (2023), sementara Arswendy membawa pengalaman dan karisma yang membuatnya dianugerahi Aktor Terbaik di Festival Film Internasional Marrakech 2022.
Keduanya pernah berkolaborasi dalam “Badrun & Loundri” dan kini bersatu kembali di “Tale of the Land” bersama Angga Yunanda dan Yusuf Mahardika.
Produksi film ini bukan tanpa tantangan. Produser Yulia Evina Bhara dan Amerta Kusuma mengungkapkan bahwa pengambilan gambar dilakukan di delta sungai yang dramatis selama musim hujan.
Air yang terus naik dan badai yang kerap datang menghadirkan tantangan besar bagi tim produksi. Namun, semua kerja keras ini terbayar dengan pencapaian ‘world premiere’ di Busan International Film Festival 2024, sebuah panggung prestisius untuk memperkenalkan film ini kepada dunia.
Dengan perpaduan kisah emosional dan keindahan alam Kalimantan, “Tale of the Land” siap membawa penonton pada perjalanan yang penuh makna, merayakan budaya lokal sekaligus menyoroti isu-isu lingkungan yang mendesak.
(*/vie; foto ist