Visualindonesia.com,-
Perkembangan teknologi yang semakin pesat seperti sekarang ini, bisa mengikis sisi kedaerahan, termasuk dalam soal bahasa. Hal itu diutarakan oleh seorang sutradara dan penulis skenario, Bayu “Skak” Eko Moektito dalam bahasan webinar dengan tema “Penggunaan Bahasa Daerah dalam Film Indonesia,” yang digelar Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI), Selasa (15/9/2023).
Bayu menolak kedaerahan, terutama bahasa daerah, terpinggirkan dan lenyap sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia.
“Jika kedaerahan kita terkikis, kita akan menjadi manusia yang lupa pada akar budaya!” ujar Bayu yang juga seorang youtuber dan komedian.
Selain Bayu, webinar kali ini menampilkan narasumber Susi Ivvaty, mantan wartawan harian Kompas, peliput bidang seni dan film yang kini aktif di Tradisi Lisan dan Lesbumi—Lembaga Seni dan Budaya di bawah naungan ormas Nahdatul Ulama (NU).
Webinar seri kedua FFWI yang diikuti 57 peserta aktif ini dipandu Supriyanto, wartawan Tabloid Bintang Indonesia.com.
Dari webinar ini terungkap, adat dan budaya beragam yang unik menjadi sumber cerita berbagai genre film, termasuk bahasa daerah.
Wacana mengangkat film berbahasa daerah tidak saja terkait untuk kepentingan komersial, tetapi juga sebagai hiburan. Hal ini karena ada istilah atau dialek daerah yang bisa memunculkan tawa penonton.
Lebih dari itu, penggunaan bahasa daerah dalam film, sekaligus bisa menjadi salah satu cara untuk melestarikan bahasa daerah, yang kini kian tereliminasi dalam bahasa pergaulan generasi Z.
Bersedia Tak Diberi Honor
Bayu “Skak” menceritakan pengalamannya ketika harus menawarkan cerita film berbahasa daerah Jawa ke berbagai production house dan ditolak. Bayu yang berasal dari Malang, Jawa Timur, kemudian bertemu produser Starvision Chand Parwez Servia yang tertarik dengan cerita itu. Namun ragu dengan penggunaan Bahasa Jawa. Untuk meyakinkan, Bayu nekad bertaruh.
“Kalau film berbahasa Jawa ini tidak bisa meraih penonton sampai 500 ribu, honor saya tidak usah dibayar,” ungkapnya kala itu.
Pada kenyataannya film “Yo Wis Ben” yang digarapnya, berhasil mengumpulkan penonton sampai sekitar 900 ribu.
“Bukan cuma saya yang ketagihan, produsernya pun memproduksi film “Yo Wis Ben 2”, ”Yo Wis Ben 3” dan ”Yo Wis Ben Finale,” ungkap Bayu yang memulai karir sebagai youtuber tersebut.
Bayu mengaku bangga dan sangat percaya diri untuk memproduksi film berbahasa daerah. Ini bukan semata-mata karena “Yo Wes Ben” telah berhasil meraih jumlah penonton sampai ratusan ribu. Lebih dari itu, film berbahasa daerah bisa ikut melestarikan penggunaan bahasa daerah.
“Saya bersyukur masih bisa berbahasa Jawa halus. Anak- anak generasi Z sekarang ini berbahasa Jawa dicampur dengan bahasa Indonesia,” kata Bayu.
Oleh karena itu dia mengajak sineas dan para produser film terus meningkatkan produksi film berbahasa daerah.
Bayu menegaskan, dalam kosa kata bahasa daerah penonton juga menemukan idiom- idiom dan dialek khas kedaerahan tertentu, yang tidak ada di bahasa daerah lain. Makanya Bayu bertekad akan terus mengembangkan film berbahasa daerah seperti memakai bahasa Jawa Ngapak, bahasa Madura dan lain-lain.
Pelestarian Bahasa Daerah
Pengalaman Susi Ivvaty menemukan film memegang peranan strategis dalam upaya pelestarian bahasa daerah.
Dia mencontohkan beberapa film seperti “Siti“ dan “Turah“ yang menggunakan bahasa Jawa, lalu ada film “Uang Panai” yang menggunakan bahasa Makasar–Bugis, dan juga film “Yuni“, yang mengangkat cerita tradisi masyarakat Serang, Banten.
Dalam film “Yuni” bahasa yang digunakan Jawa Serang. Jawa yang bercampur dengan bahasa Sunda. Orang Jawa dan Sunda yang tinggal di pesisir provinsi Banten, dalam percakapan sehari- hari terbiasa menggunakan bahasa masing-masing, tetapi uniknya mereka saling mengerti.
“Di sinilah kita lihat bahasa itu menjadi keutamaan rasa, bahasa budaya dan dalam bahasa daerah itu kuat sekali,” urai Susi.
Film, imbuh Susi, perlu memanfaatkan bahasa daerah jika cerita yang diangkat beratar belakang adat dan budaya daerah tertentu.
“Karena feelnya ada di dalam bahasa itu. Kalau film ‘Uang Panai’ tidak menggunakan bahasa daerah, pasti terasa hambar dan tidak ada feelnya,” imbuhnya seraya mengingatkan penggunaan bahasa daerah menjadi sebuah cara menghindari kepunahan bahasa.
Dalam bidang kebahasaan itu juga Susi merasa kehilangan sosok Remy Silado, seniman yang mahir berbagai bahasa daerah dan bahasa asing. Remy Silado yang wafat tahun lalu, bagi Susi pribadi mengingatkan betapa pentingnya merawat dan menggunakan bahasa daerah.
Berhasil Secara Komersial
Sementara itu, Edi Suwardi, Kapokja Apresiasi dan Literasi Film mewakili Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, dalam sambutan mengakui, kini semakin banyak film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah.
Menurut Edi, hal ini antara lain berkat upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menggalakkan penggunaan bahasa daerah di berbagai media pandang dengar. Kementerian juga telah mendanai produksi film yang menggunakan bahasa daerah.
Alasan lain meningkatnya penggunaan bahasa daerah dalam film Indonesia, tambah Edu, maraknya era digital. Sekarang jauh lebih mudah memproduksi dan mendistribusikan film, dan hal ini menyebabkan pembuatan film menjadi lebih beragam. Termasuk film-film yang menggunakan bahasa daerah.
Edi memberi contoh yang sudah menggunakan bahasa daerah, antara lain, “Arisan” (The Gathering, 2003), yang menggunakan bahasa Jawa; “Filosofi Kopi” (Filosofi Kopi, 2015), menggunakan bahasa Sunda; “Tarian Lengger Maut” (2022), berbahasa Bali.
“Film-film berbahasa daerah ini hebatnya sukses, baik secara kritik maupun komersial, dan membantu meningkatkan kesadaran akan penggunaan bahasa daerah dalam film-film Indonesia. Karenanya ke depannya mungkin akan lebih banyak lagi film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah,” kata Edi.
(*/drel; foto ist