Visualindonesia, Jakarta,-
Gedung Pewayangan Kautaman, Jakarta, kembali bergemuruh oleh suara gendang, saron, dan gong yang mengiringi penampilan grup wayang orang legendaris, “Ngesti Pandowo” yang menampilkan lakon ‘Kresna Duta’.
Lakon ‘Kresna Duta’ menceritakan tentang kekalahan Pandawa dalam permainan dadu melawan Kurawa. Hal ini membuat mereka kehilangan Negeri Indraprasta. Menjalani 12 tahun masa pembuangan dilanjutkan setahun penyamaran di kota besar.
Di saat Pandawa konsisten sebaliknya Duryudana ingkar. Ia menolak mengembalikan Indraprasta. Prabu Drupada mewakili Pandawa untuk mengingatkan Duryudana tapi tidak berhasil. Dewi Kunti ikut mengingatkan, namun upaya tersebut juga gagal.
Didukung para aktor dan aktris panggung antara lain, Sunarno (Prabu Mastwapati); Joko Suratno (Prabu Drupada); Wiradyo (Prabu Salya); A. Sri Paminto Widi Legawa (Prabu Kresna); M. Harrel Al-Zafar (Adipati Karna); Haryadi Dwi Prasetyo, S.Sn (Prabu Duryudana); dan Albela Mayarani Puspita, S.E. (Dewi Kunti).
Lakon ‘Kresna Duta’ disutradarai Wiradyo dan Sunarno; Penulis Naskah, Wiradyo dan Paminto; Penata Artistik dan Penata Cahaya, Budi Lee; Penata Panggung, Supardi; Penata Iringan, Sugiyanto Gitunk; Penata Tari, Ayok Pertiwi Eko Pertiwi, S.Sn. dan Paminto; Tata Rias dan Busana, Dewi, Wulansari S.Pd, dan Albela Mayarani Puspita.
Bertindak sebagai Kurator pergelaran ini, Drs. Suryandoro, Sumari, S.Sn, MM, Agus Prasetyo, S.Sn, dan Nanang Hape, S.Sn, serta Djoko Muljono, S.H, selaku Ketua Pengurus Grup Wayang Orang “Ngesti Pandowo”.
Menurut Sunarno, sutradara pergelaran ini, ‘Kresna Duta’ merupakan spirit penggambaran sosok ‘Pamomong’ berjiwa ksatria. Memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin. Berjuang menyelesaikan berbagai permasalahan dengan bijak dan jiwa yang tulus.
“Sebuah penggambaran situasi dan kondisi kepemimpinan saat ini. Perlu sosok ‘Pamomong’ yang benar-benar bisa mengkondisikan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara dengan bijak. Sehingga tercipta suasana kondusif, damai dan sejahtera,” ujar Sunarno di Gedung Pewayangan Kautaman, Jakarta Timur, Minggu, 26 Juni 2022.
Kepala Bidang Humas Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI), Eny Sulistyowati SPd, SE, MM., mengatakan, tampilnya Wayang Orang “Ngesti Pandowo” merupakan pergelaran perdana, dari rencana empat grup wayang orang yang akan tampil di Pewayangan Kautaman Jakarta.
Grup yang akan tampil berikutnya, imbuh Eny adalah, “Rasa Rupa Wayang” (dari berbagai macam genre dan jenis wayang), “Wayang Orang Anak” (Mangkunegaran – Surakarta), dan “Wayang Topeng” (Jawa Timur).
“Keempat grup kesenian wayang ini akan mengisi kalender acara Panitia Tetap Teater Wayang Indonesia (Pantap TWI), hingga penghujung tahun 2022 nanti,” terang Eny Sulistyowati, yang juga bertindak sebagai salah satu Produser dalam pergelaran ini.
Sementara itu Penanggung jawab Program Pantap TWI, Im. Rini Hariyani, SS., M.Hum mengatakan, Wayang bukan hanya sekadar seni pertunjukan. Wayang adalah ekspresi nilai-nilai masyarakat, membentuk identitas budaya bangsa.
“Wayang, memberi banyak ajaran, tuntunan, dan tatanan nilai kultural. Baik melalui representasi jalan cerita maupun citra para tokohnya,” ujar Rini Hariyani yang ikut menyaksikan pementasan Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo.
Sejumlah grup wayang orang ada yang mampu bertahan selama puluhan — dan bahkan ratusan tahun di tengah berbagai tumbuh kembangnya seni budaya global.
WO Sriwedari berdiri tahun 1911, WO LPP RRI Surakarta berdiri tahun 1934. WO Ngesti Pandowo berdiri tahun 1937, dan WO Bharata berdiri tahun 1972. Grup kesenian tradisional ini mampu bertahan hingga sekarang.
Kenapa bisa bertahan? “Salah satu nilai yang menjadi pemersatu para penggiatnya, adalah guyub-rukun dan persaudaraan,” ujar Eny.
Berkesenian memang erat kaitannya dengan etos; keyakinan, sikap, kepribadian, watak, karakter, dan kekuatan mental.
“Memiliki kemampuan; cakap; terampil, serta dapat diterima dan dipercaya. Ini kunci ketahanan,” tegas Eny.
Di kesempatan yang sama, Ir. Retno Irawati yang juga Produser dalam pergelaran ini menyampaikan, seni tradisional harus menyamakan irama di tengah perubahan yang disebabkan berbagai faktor obyektif.
Grup-grup kesenian yang ditampilkan di Teater Wayang Indonesia (TWI) menurutnya, harus berorientasi pada karya berkualitas, agung dan adiluhung. Oleh karena itu, proses dan selektivitas menjadi keharusan.
“Ini menjadi keharusan agar kesenian tradisi tetap dikenali generasi abad ini. Tampil di TWI bersifat pembinaan, pemanfaatan, perlindungan, sekaligus menjadi bagian dari proses mencerdaskan bangsa, dan meningkatkan kesejahteraan seniman,” ujar Retno Irawati.
WO “Ngesti Pandowo” didirikan di Madiun oleh Sastro Sabdho pada tanggal 1 Juli 1937. Konsep pertunjukan pada awalnya memadukan unsur Wayang Orang Keraton (WO Pendhapa) dengan Teater Barat.
Hadirnya WO “Ngesti Pandowo” bagian dari upaya menanamkan rasa cinta pada seni tradisi. Memberi hiburan alternatif kepada masyarakat.
Pada masa awal berdirinya WO “Ngesti Pandowo” tidak hanya digemari masyarakat Jawa, tetapi juga orang-orang Belanda dan keturunan Tionghoa.
WO “Ngesti Pandowo” lokasi pentasnya di Gedung Kesenian Ki Narto Sabdho Kompleks Taman Budaya Raden Saleh, Kota Semarang, Jawa Tengah.
(dra; foto mm