Visualindonesia, Jakarta,-
Masih di lokasi yang sama, tepatnya di Kedai Lali Bojo, Pondok Bambu, Jakarta, Talkshow Jakarta Horror Screen Festival pada episode ke-8 yang digelar Kamis malam (23/7), mengusung tema “Benarkah Ada Kutukan”, dengan menampilkan tiga tamu istimewa yang menjadi narasumber antara lain, Avriellia Shaqqila, Kevin Torsten (bintang film Trah 7), dan Ki Joko Bodo.
Kutukan, Trah dan Ibilis yang ternyata dikenal sebagai Halaka dalam banyak film horor, telah menjadi figur nan prestis meski harus berupaya keras membuat penonton ngeri dan ketakutan.
Kutukan selalu menjadi alasan dominan untuk mencari trah cerita sebagai asal muasal yang akan berakhir dengan munculnya Halaka. Sosok iblis (Halaka) kerap bermunculan dengan takaran wujud yang serba imajiner tapi (pada beberapa film horor) cukup mengerikan dan menakutkan.
Formula ini sepertinya masih laik jual bagi para produser. Praktisi supranatural Ki Joko Bodo mengatakan bahwa kutukan itu ada dalam kehidupan nyata.
“Trah dan kutukan kerap saling berkaitan. Bila melanggar wasiat trah maka akan menjadi kutukan bagi si pelanggar,” jelas Ki Joko Bodo.
Trah dipahami sebagai turun temurun atau keturunan, memiliki sifat dan esensi sendiri untuk bisa di pegang teguh bagi para penganutnya.
Lebih lanjut Ki Joko Bodo menjelaskan, banyak film horor yang menarik akar cerita soal trah dan kutukan, tapi menurut saya akan terasa keren juga sih jika saat shooting film horor semua kru dan bintangnya nginap saja di sebuah tempat yang betul-betul punya atmosfir horor kuat.
“Maka akan memberi energi lebih kepada semua yang terlibat dalam produksi film horror, ya ini sih pandangan saya berdasar pengalaman sesungguhnya,” tambah Ki Joko Bodo.
Sementara Kevin Torsten juga punya pandangan nyaris serupa bahwa para iblis jahat atau Halaka dalam film horor selalu punya trah dan kutukan-kutukannya.
“Sering kita jumpai pada film-film genre horor franchise selalu saja kutukan tak berakhir dalam satu film, bahkan sosok iblis Halaka selalu dimunculkan versi barunya yang beda dengan seri sebelumnya, lebih menakutkan, mengerikan dan lebih keji kepada keturunan manusia,” ungkap Kevin.
Agak sedikit berbeda dengan Avriellia Shaqqila, bintang film cantik yang sangat penakut itu. Menurutnya, film horor dengan menggunakan nilai budaya trah dan kutukan tak lebih sebagai misi menghibur penonton.
“Sosok yang disebut Halaka dalam genre horor itu bagi aku sangat menakutkan, apalagi kalau make-overnya keren, pasti pulang nonton di bioskop, rasa takut itu ke bawa sampai rumah,” ujar Avriellia sambil tertawa.
Film horor juga memiliki nilai intelektualitas bagi pembuatnya. Bagaimana film tersebut dengan misi menghiburnya tanpa membodohi penonton.
“Meski tak terlalu memerankan logika menonton, tapi nalar untuk mencerna cerita juga menjadi bonus bagi penonton apabila intelektual si pembuat ikut berperan,” terang Avriellia.
Film horor dengan embel-embel trah, kutukan dan Halaka –meski kita sepakati sebagai imajiner si pembuat– tetap pada etalasenya sebagai ‘penghibur sejati’ yang hendak memuaskan banyak orang yang tidak pernah keluar dari pakemnya dengan unsur, misterinya, drama, suspens, serta kemasan jump-scare dan thriller bahkan jika perlu mencomot area visual dark dan gothic.
Dengan mengerahkan pendekatan efek visual, make-up, treatmen dengan bonus jump-scare, serta balutan scoring yang sangat baik, maka genre horor akan tetap punya tempat sendiri untuk mempertahankan tahtanya di layar bioskop.
(drel; foto ist