Visualindonesia.com,-
Industri perfilman Indonesia melangkah berani ke luar orbitnya lewat “Pelangi di Mars”, film fiksi ilmiah pertama yang memadukan teknologi produksi mutakhir seperti Extended Reality (XR), Unreal Engine, dan motion capture, langkah ambisius yang ditargetkan tayang pada 2026.
Dipimpin sutradara Upi Guava dan ditulis oleh Alim Sudio, proyek ini bukan sekadar tontonan futuristik, melainkan pernyataan: sineas Tanah Air siap bersaing di ranah global dengan membangun ekosistem produksi film berbasis teknologi tinggi yang selama ini didominasi negara Barat.
Upi Guava, yang dikenal lewat karya-karya bernuansa lokal kuat seperti “Aruna & Lidahnya”, kini mengambil lompatan besar. Dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (24/11), ia menegaskan bahwa eksplorasi genre fiksi ilmiah bukan hanya soal estetika, tapi kebutuhan evolusi industri.
“Kalau kita mau maju, harus berani mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan,” ujarnya.
Bagi Upi, “Pelangi di Mars” adalah eksperimen sekaligus pembuktian bahwa kreator Indonesia mampu menguasai narasi futuristik tanpa kehilangan jiwa lokal.

Apa yang membedakan film ini dari proyek-proyek sebelumnya? Jawabannya terletak pada teknologi produksinya. “Pelangi di Mars” menggunakan virtual production berbasis XR dan Unreal Engine, memungkinkan latar Planet Mars divisualisasikan secara real-time lewat layar LED raksasa selama syuting berlangsung.
Aktor tak lagi berakting di depan layar hijau, melainkan di tengah dunia digital yang langsung terasa nyata, membuka dimensi baru dalam imersi dan akting. Empat karakter robot pendukung — Batik, Kimchi, Yoman, dan Petya — bahkan dihidupkan lewat teknologi motion capture, menandai tonggak penting dalam sejarah animasi karakter digital Indonesia.
Produser Dendy Reynando menyebut proses ini sebagai “keluar dari zona nyaman secara kolektif.”
“Ini bukan cuma bikin film. Ini membangun ekosistem teknologi film Indonesia dari nol,” katanya.
Dukungan penuh dari PT Produksi Film Negara (Persero) atau PFN memperkuat komitmen proyek ini sebagai ujung tombak perfilman nasional yang siap merambah pasar internasional.
Di balik gemerlap teknologi, “Pelangi di Mars” menyimpan pesan mendalam. Berlatar tahun 2090 — saat Bumi telah rusak akibat keputusan manusia masa kini — film ini mengikuti kisah Pelangi, bayi manusia pertama yang lahir di Mars, yang menjadi simbol harapan sekaligus peringatan.

“Dunia 2090 di film ini adalah cermin dari apa yang kita lakukan hari ini,” kata Upi.
Dengan menyatukan kritik lingkungan, eksplorasi identitas, dan optimisme kemanusiaan, skenario Alim Sudio berhasil menjembatani spekulasi futuristik dengan relevansi sosial masa kini.
Dibintangi oleh Messi Gusti, Lutesha, dan Rio Dewanto, “Pelangi di Mars” diharapkan menjadi pintu gerbang bagi genre fiksi ilmiah di Indonesia, sekaligus membuktikan bahwa teknologi, bila dikawinkan dengan narasi kuat, bisa menjadi alat bercerita yang demokratis, bukan eksklusif milik Hollywood.
“Pelangi di Mars” juga diharapkan tak hanya mencetak standar baru dalam produksi lokal, tapi bisa menginspirasi generasi sineas muda untuk berani bermimpi di luar batas gravitasi.
(*/cia; foto: @pelangidimars





