Kritik Film “Tilik”
Oleh: Hardo Sukoyo
Produksi: Ravacana Films; Produser: Elena Rosmeisara; Sutradara: Wahyu Agung Prasetyo; Penulis Skenario: Bagus Sumartono; Penata Kamera: Satria Kurnianto; Penata Musik: Redy Afrians; Penyunting Gambar: Indra Sukmana; Pemeran: Siti Fauziah (Bu Tejo); Brilliana Desy (Yu Ning); Angeline Rizky (Bu Tri); Dyah Mulani (Yu Sam); Lully Syahkisrani (Dian); Hardiansyah Yoga Pramata (Fikri); Tri Sudarsono (Minto – ayah Fikri); Tri Widodo (Gotrek); Ratna Indriastuti (Yati); Stephanus Wahyu Gumilar (Polisi); Negara: Indonesia; Bahasa: Jawa; Distributor: Ravacana Films; Tanggal rilis: 2018 (Indonesia), 2020 (YouTube).
Visualindonesia, Jakarta,-
Film “Tilik” adalah Film Pendek dalam kemasan “Komedi Situasi”. Meskipun begitu dapat ditafsirkan, dalam penggarapanya sutradara Wahyu Agung Prasetyo melakukan pendekatan dengan rumusan Film Dokumenter. Dalam artian, kenyataan itu tampil sebagai kenyataan, melalui dialog para pemerannya. Entah itu pembicaraan tentang Berita Bohong (Hoaks), Gosip (Membicarakan orang lain), atau “Kabar Burung” (Kabar yang belum jelas kebenarannya).
Hasilnya?
Dialog para pemerannya yang menggunakan Bahasa Jawa, menjadikan Kekuatan Film “Tilik”. Hal itu bila mengingat berbagai hal yang dituturkan melalui dialog oleh para pemerannya, berhasil membuai dan “menggiring” penontonnya untuk menonton sampai akhir film. Dengan kata lain, meskipun dialog para pemeran Film “Tilik“ menyiratkan “Kabar Burung”, tetapi telah berhasil membuai emosi para penontonnya.
Berdasarkan semua itu dan karena dilihat dari sudut pandang penonton semata, tulisan ini diberi judul Terbuai “Kabar Burung” (Film Pendek “Tilik”).
STRUKTUR CERITA
Sebagai pembuka, film “Tilik” diawali dengan adegan serombongan “Emak-emak” (Ibu-ibu) yang naik truk, akan pergi menjenguk Bu Lurah yang sedang dirawat di rumah sakit.
Selanjutnya, selama perjalanan itu Bu Tejo terus saja mengumbar gosip tentang “Kembang Desa” yang cantik, Dian, dan mendapat respon dari ibu-ibu yang lain, utamanya oleh Yu Ning.
Melalui gosipnya, Bu Tejo menyatakan bahwa Dian, calon menantu Bu Lurah — karena “kedekatannya” dengan Fikri, anak Bu Lurah itu — adalah perempuan “tidak bener”, yang sangat meresahkan warga. Terutama keutuhan rumah tangga, karena Dian sering menggoda para lelaki yang sudah berkeluarga.
Menurut Bu Tejo, ada yang pernah cerita kepadanya bahwa Dian yang tidak jelas pekerjaannya itu, sering keluar-masuk Hotel dan Mal dengan seorang laki-laki atau Oom-oom. Dan semua yang dia omongkan itu diperolehnya dari kabar yang ada di media sosia, melalui WA pada telepon genggam miliknya.
Bahkan Bu Tejo mengaku, suatu malam memergoki Dian muntah-muntah dari atas motor yang dinaikinya, layaknya orang yang sedang hamil.
Namun, tidak semua yang disampaikan Bu Tejo itu dibenarkan begitu saja oleh “Emak-emak” dalam rombongan itu. Yaitu Yu Ning.
Yu Ning pun mengingatkan Bu Tejo, agar tidak mempercayai begitu saja berita dari media sosial yang tidak jelas sumbernya.
Meskipun begitu, Bu Tejo tidak peduli. Bu Tejo terus saja berbicara tentang keburukan Dian. Apalagi diketahuinya bahwa Yu Ning ternyata “nak sanak” alias sepupu Dian.
Tidak hanya itu. Selain sebagai hambatan pada struktur dramatik film, juga agar tidak terkesan monoton, disajikanlah adegan pembicaraan dengan tema lain atau bukan gosip tentang Dian. Ialah adegan dialog antara Bu Tejo dengan Gotrek serta beberapa ibu yang lain, di depan Masjid.
Selesai dari toilet, Bu Tejo mendatangi Gotrek, supir truk yang mengantarkan para ibu itu, yang memarkirkan truknya di depan Masjid, untuk memberikan sejumlah uang kepada Gotrek. Selain sebagai tanda terima kasih, juga menyiratkan pemberian uang itu sebagai “Mahar”, agar Gotrek mendukung suami Bu Tejo untuk menjadi lurah.
Merespon “niat baik” Bu Tejo itu, secara tiba-tiba, Gotrek mengusulkan Dian untuk menggantikan Bu Lurah. Sepontan Bu Tejo dan beberapa ibu yang lain pun, menolak usulan tersebut. Bahkan Bu Tri menceritakan bahwa Dian kerap menggoda suaminya.
Hambatan lain yang juga dihadirkan pada Film “Tilik”, ketika dalam perjalanan truk tersebut mogok. Para “Emak-emak” itu pun turun dan bergotong-royong mendorong truk itu, kecuali Bu Tejo dan Bu Tri.
Hambatan lainnya lagi, adalah ketika para ibu itu, harus berhadapan dengan Polisi.
Saat Bu Tejo dan Yu Ning berdebat soal Dian, terdengar bunyi klakson truk, sebagai peringatakan dari Gotrek bagi para ibu yang berada di atas truk itu, harus merunduk, agar tidak terlihat oleh Polisi.
Namun Bu Tejo dan Yu Ning tidak peduli dengan peringatakan seperti itu. Truk pun diberhentikan oleh seorang Polisi, karena ketahuan membawa serombongan orang.
Saat polisi itu akan membuat Surat Tilang, Bu Tejo pun berteriak: “Pak polisi kami tuh mau jenguk Bu Lurah, lo Pak. Ini keadaannya darurat, mbok tolong Pak, impatinya, nuraninya dipakai, lo Pak. Kalau jenengan ngeyel tak gigit tenan, lo,” teriak Bu Tejo, dari atas truk.
Teriakan Bu Tejo itu pun membangkitkan emosi ibu-ibu yang lain. Mereka dengan gemas, kemudian turun dari truk.
Adegan selanjutnya, para “Emak-emak” itu, melambaikan tangan mererka ke arah Polisi yang berdiri di tengah jalan.
Setibanya rombongan di rumah sakit, mereka disambut oleh Dian dan Fikri. Namun, Dian menyayangkan kedatangan rombongan ibu-ibu sedesanya itu, mereka seharusnya tidak datang ke rumah sakit, sebab Bu Lurah masih berada di Ruangan Perawatan Intensif (ICU), dan belum boleh dijenguk.
Mendengar penuturan Dian seperti itu, Bu Tejo, setelah naik truk pun berujar: “Dadi ngabarke kabar sing durung ceto kuwi, klebu fitnah ora?” Demikian ujar Bu Tejo, yang sebenarnya ditujukan ke Yu Ning, karena Yu Ning menjadi penggagas untuk tilik Bu Lurah, tetapi belum berbekal informasi yang jelas, tentang kondisi Bu Lurah sebenarnya.
Sesaat setelah rombongan “Emak-emak” itu meninggalkan rumah sakit, muncul Dian yang berjalan dan kemudian memasuki mobil sedan.
Tampak di dalam mobil sedan telah duduk seorang lelaki paruh baya, yang Dian pangnggil dengan sapaan “Mas”.
Terdengar Dian menuturkan kegelisahannya kepada “Mas” bahwa dia sudah tidak sanggup lagi menjalani hubungan sembunyi-sembunyi.
“Mas, kapan yo Fikri biso nompo yen bapake arep rabi meneh?” Kata Dian, kepada Mas.
Itulah adegan akhir Film “Tilik”. Surprise!!!
POLA UNGKAP
Dialog antarpemain Film “Tilik” yang menggunakan bahasa Jawa — dengan teks bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris — telah menjadikan Kekuatan Film “Tilik”. Hal itu sangat bisa dipahami, karena isi pembicaraan dialog antarpemerannya cenderung jelas dan lugas, bukan “pasemon” atau sindiran.
Tidak hanya itu, bentuk adegannya pun sangat dipahami penontonnya utamanya “Emak-emak”, karena sama dan sebangun dengan Ngrumpi atau “Bergosip-Ria”.
Dipilihnya dialog lebih utama daripada visual sebagai penyampai pesan pada Film “Tilik”, berdampak positif, pada beberapa unsur film lainnya yang ada. Hal itu sagat jelas terlihat pada rangkaian adegan sejak awal sampai akhir film. Betapa minim variasi visualisasi adegan, termasuk penataan artistik dan musik.
Skenario yang ditulis Bagus Sumartono menunjukkan struktur cerita film yang terjaga dengan baik. Kejelasan cerita segera diketahui dan tidak bertele-tele.
Lebih istimewa lagi, begitu cerdas pemikiran Bagus Sumartono, dalam merancang adegan akhir film yang tidak terduga sebelumnya, “Pay-off”. Ketika Dian bertemu dengan “Mas” di dalam mobil sedan dan menuturkan kegelisahannya.
Adegan dan dialog singkat, tetapi berfungsi menjelaskan seluruh informasi yang telah disampaikan (Planting of Information) oleh para pemeran pada rangkaian adegan sebelumnya.
Ternyata Dian menjalani hubungan sembunyi-sembunyi dengan “Mas” yang adalah bapaknya Fikri, tetapi bukan dengan Fitri. Seperti yang digosipkan oleh Bu Tejo, sebelumnya.
Tentunya Wahyu Agung Prasetyo sebagai sutradara, sangat mengetahui bahwa lebih diutamakannya dialog daripada visual sebagai penyampai pesan pada karya filmnya, justru akan mempermudah memvisualkan beberapa setting lokasi kejadian, sebagai bagian dari unsur Tata Artistik. Hal itu bila dilihat dari tidak tercantumnya nama Penata Artistik pada susunan Kru Film.
Kenyataannya, setting lokasi kejadian, seperti masjid atau pelataran parkir mobil di rumah sakit, pada Film “Tilik”, sangat jelas tampak sesuai dengan aslinya. Tidak ada penambahan “property” apa pun. Sejalan dengan konsep penggarapan Film Dokumenter yang sutradara Wahyu Agung Prasetyo terapkan. Kenyataan itu tampil sebagai kenyataan.
Mengamati angle-angle yang disajikan oleh penata kamera Satria Kurnian dalam film ini, terlihat “framing” mampu mewakili obyek sasaran yang diperlukan. Khususnya pada bak truk, setting tempat “Emak-emak” bergosipria.
Tampak sekali Satria Kurnian dalam menjalankan tugasnya, secara umum menggunakan pendekatan “Angle Kamera Obyektif”. Dalam arti, sudut perekaman gambar filmis, mewakili pandangan penonton.
Ditampilkannya Gapura Kota yang bertuliskan “Bantul Projo Tamansari” (“Establishing Shot”), dapat ditafsirkan sebagai informasi bahwa tempat kejadaian peristiwa film, berlangsung di sekitar Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Baik itu desa, tempat tinggal rombongan “Emak-emak” maupun lokasi Rumah Sakit tersebut, berada.
Mengingat kuatnya dialog film dan unsur suara lainnya, maka kehadiran musik oleh penata musik Redy Afrians, terbatas pada adegan tertentu.
Tercatat musik baru muncul sesaat ketika para “Emak-emak” itu, melambaikan tangan ke arah Polisi yang akan menilangnya dan dilanjutkan sampai dengan adeagan munculnya Gapura Kota yang bertuliskan “Bantul Projo Tamansari”.
Kemudian musik hadir lagi pada saat Yu Ning “galau” setelah dicibir oleh Bu Tejo, karena Yu Ning menjadi penggagas untuk tilik Bu Lurah, tetapi belum berbekal informasi yang jelas. Selanjutnya musik hadir pada menjelang akhir film hingga “rolling text” berakhir.
Film “TILIK” menjadi tontonan yang enak ditonton, karena penyuntingan gambar yang dilakukan Indra Sukmana. Hal itu bila mengingat tidak saja menyatunya unsur pemeranan, dialog, dan musik film, yang harmonis, tetapi juga karena tampilan lokasi kejadian film, tidak terkesan menjadikan film bertempo lambat.
Hal itu terjadi, karena Indra Sukmana sebagai penyunting gambar, tidak hanya melakukan sambung-menyambung film berdasarkan urutan adegan yang runtut, tetapi juga memperpadat unsur waktu.
Karakter para tokoh dalam Film “Tilik” merupakan gambaran berbagai pribadi yang ada di sekitar kita.
Paling luar biasa tentu saja penampilan Siti Fauziah, pemeran tokoh utama, Bu Tejo. Karena kemampuannya sebagai perwujudan seorang ibu yang sok tahu, ingin diperhatikan, mau menang sendiri, dan suka menyebar gosip.
Begitu juga dengan Brilliana Desy yang berperan sebagai Yu Ning. Dia cukup mampu mengimbangi penampilan Siti Fauziah, sebagai Bu Tejo, sehingga permainan mereka tidak berat sebelah.
Adegan ketika Bu Tejo dan Yu Ning berdebat soal Dian, di atas truk itu, sebelum truk diberhentikan oleh Polisi, menunjukkan hal itu.
Kesan yang diperoleh setelah menonton Film “Tilik”, sang sutradara Wahyu Agung Prasetyo, telah memanfaatkan secara maksimal unsur-unsur film, sebagai alat bertutur dalam bercerita secara sinematik.
Mengingat hal itu, harus diakui bahwa kerja sama yang baik antara sutradara dan juru kamera, telah memberikan hasil yang baik. Apalagi dipadu dengan penata musik dan editing yang cermat, telah memberikan hasil akhir yang memuaskan secara visual bagi Film “Tilik”.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa Film Pendek “Tilik” berdurasi 32 menit itu, boleh dikatakan selain sebagai Tontonan juga sebagai Tuntunan. ***