visualindonesia, Jakarta,-
Mengolah dan mengembangkan bahan obat berbasis bahan alam merupakan salah satu kompetensi dan keahlian apoteker Indonesia, sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus. Oleh karena itu, Apoteker Praktek Bersama Indonesia (APBI) mengkhususkan diri menjadi wadah bagi apoteker yang memiliki kompetensi, keahlian dan konsern di bidang produksi bahan obat berbasis bahan alam.
“Salah satu fungsi APBI ini adalah menampung produk apoteker yang memang bahan bakunya berbasis bahan alam,’’ ungkap Drs Abdurrahman, Apt, Sekjen APBI disela Rakernas IV yang digelar akhir pekan lalu di Wisma Kementerian Agama, Jakarta.
Selain menjadi wadah bagi produk yang dihasilkan oleh anggota APBI, tugasnya adalah memberikan bekal kepada para anggota agar dapat mengedukasi masyarakat dan pasien mengenai bahan obat berbasis bahan alam.
Kemampuan dalam memberikan edukasi mengenai bahan alam ini menjadi nilai lebih dari anggota APBI, tidak hanya mampu melakukan edukasi obat kimia, tapi juga bahan alam yang sekarang sudah cenderung dipilih oleh masyarakat.
Sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh BPOM maupun Kementerian Kesehatan RI, sudah mulai cenderung mengangkat produk berbasis bahan alam yang termasuk dalam pelayanan kesehatan tradisional.
Dalam rakernas bertema ‘Optimize opportunity of Holistic Swamedication of Pharmacy Practice on JKN Era’ ini salah satunya adalah membahas blue print praktek pelayanan swamedikasi holistik yang akan menjadi ikon APBI. Blue print akan dilengkapi dengan pelatihan-pelatihan untuk memberi bekal bagi pelayanan swamedikasi tersebut.
Sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh BPOM maupun Kementerian Kesehatan RI, sudah mulai cenderung mengangkat produk berbasis bahan alam yang termasuk dalam pelayanan kesehatan tradisional.
‘’Hal itu kita tangkap menjadi salah satu tema, yaitu menciptakan apoteker yang profesional dan sejahtera. Kesejahteraan itu dibangun melalui praktek, di dalam praktek itu kita melihat ada celah yang disebut pelayanan swamedikasi. Inilah yang kita kelola untuk menjadi peluang agar kesejahteraan meningkat. Tidak hanya swamedikasi untuk obat wajib apotek saja tetapi juga swamedikasi dari bahan obat berasis bahan alam, sehingga disebut holistic swamedikasi. Jadi bagaimana kita mengoptimalkan kesempatan swamedikasi holistik sebagai bagian tak tepisahkan dari praktek kefarmasian pada era JKN, itulah yang kita bahas dalam rakernas kali ini,’’ tambah Rahman.
Perkembangannya kemudian adalah bagaimana menciptakan kultur agar apoteker dapat melakukan praktek kefarmasian sesuai UU yang berlaku. Caranya adalah dengan pelatihan dan komunikasi yang terus menerus, sehingga pekerjaan swa medikasi holistik ini menjadi pilihan. Apabila sudah menjadi pilihan dan menjanjikan kesejahteraan, pasti para apoteker akan mau melakukannya.
Menurut Rahman, selama ini apoteker di komunitas enggan melakukan praktek kefarmasian karena tidak memiliki cukup referensi disamping bahan edukasi yang belum cukup komprehensif. Ditambah lagi, selama ini belum terbukti bahwa melakukan pelayanan swamedikasi ini merupakan peluang untuk menciptakan kesejahteraan.
‘’Oleh sebab itu ini merupakan pekerjaan besar kita. Pelayanan swamedikasi holistik ini nantinya akan menjadi ikon APBI. Organisasi profesi kita lebih banyak pada urusan yang terkait pada pengembangan enterpreneurship berbasis nilai keprofesian,’’ ungkap Rahman.
Kendati baru berusia 3 tahun, APBI saat ini telah memiliki 450 anggota yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Organisasi ini juga telah mendirikan Pengurus Daerah di 90 persen propinsi di Indonesia.
(ril/alicia; foto ist