Oleh Hardo Sukoyo
PRODUKSI: Maxima Pictures; PRODUSER: Ody Mulya Hidayat; SUTRADARA: Fajar Bustomi & Pidi Baiq; SKENARIO: Pidi Baiq, Titien Wattimena; PENATA KAMERA: Dimas Imam Subhono; PENATA ARTISTIK: Angie Hakim;PENYUNTING GAMBAR: Ryan Purwoko; PENATA MUSIK: Andhika Triyadi: PENATA SUARA: Khikmawan Santosa; PEMAIN: Iqbaal Ramadhan, Vanessa Prescilla, Guillio Parengkuan, Brandon Salim, Rifnu Wikana, Ira Wibowo, Happy Salma, Yati Surachman, Yoriko Angeline, Gusti Rayhan, Zulfa Maharani Putri, Stefhanie Zamora Husen, Andryos Aryanto, Omara Esteghal, Refal Hady, Adhisty Zara.
Visual Indonesia, Jakarta,-
Keberhasilan Film Dilan 1990 karya sutradara Fajar Bustomi dan Pidi Baiq, produksi Maxima Pictures “menyihir” penonton mau datang ke gedung bioskop dalam jumlah yang sangat luar biasa untuk ukuran film Indonesia saat ini, merupakan fenomena tersendiri. Hari ke-10 (dari tanggal 25 Januari sampai dengan 3 Februari 2018, pukul 13.00 WIB) peredarannya secara serentak di gedung-gedung bioskop di berbagai kota di Indonesia, film yang diangkat dari novel best seller, Dilan 1990 karya Pidi Baiq ini, setidaknya telah ditonton oleh 3.000.000 (tiga juta) penonton.
Kenyataan di lapangan yang tak terbantahkan. Mengapa bisa begitu? Karena kisah dalam Novel Dilan 1990, yang diterbitkan oleh Mizan Pustaka, baik narasi maupun dialog para tokohnya, memang sudah sangat kuat, mengalir dinamis, serta enak untuk dibaca sampai paragraf terakhir.
Layaknya skenario film, novel Dilan 1990 juga dibagi dalam 25 sequence (bab). Mulai dari Bab 1. Aku sampai dengan Bab 25. Malam ini. Kemudian masing-masing bab tersebut dibagi dalam beberapa scene, bagian. Seperti Aku, terdiri dari 1- 5 bagian. Bab 2. Sang peramal, terdiri dari 1 – 8 bagian, dan bab 25 terdiri dari 1- 4 bagian.
Dengan konstruksi dramatik seperti itu, dapat diduga penulis skenario Titien Wattimena, lebih mudah dalam memilah dan memilih bagian mana saja yang paling tepat sebagai rangkaian cerita pada skenario film. Hasilnya?
Luar biasa. Walaupun rangkaian cerita film secara keseluruhan ada perberdaan dengan cerita novel, karena dipotong, benang merah cerita tetap terjaga keutuhannya. Tidak hanya itu, Titien Wattimena mampu membuat dialog film tetap memiliki jiwa seperti diolog pada novelnya.
Akibat dari semua itu, bagi yang belum maupun yang sudah membaca Novel Dilan 1990, juga bagi yang sering kecewa terhadap film adaptasi novel yang terlanjur ditontonnya ada pemotongan, kemudian merasa imajinasinya akan terkikis, tidak akan kecewa, ketika mereka menonton film Dilan 1990. Karena sang sutradara, melalui karya penata kamera Dimas Imam Subhono, berhasil memvisualisasikan karya tulis Pidi Baiq, secara baik.
Suasana Bandung juga sangat terasa di film ini, pengambilan gambar dan lokasi yang tepat mengiring penonton terbawa pada suasana kota Bandung di tahun 1990.
Penyuntingan gambar yang dilakukan Ryan Purwoko, musik yang ditata Andhika Triyadi, serta penataan suara oleh Khikmawan Santosa, membuahkan keharmonisan pada irama film, baik itu pada suasana dinamis maupun yang romantis.
Lebih khusus lagi visualisasi adegan lempar batu yang mengenai kaca jendela pada penyerangan sekolah Dilan dan Milea, begitu detail dan sangat mencekam. Demikian juga adegan perkelahian Dilan dangan Anhar memiliki kualitas tersendiri, karena posisi gambar filmis tidak sekadar merekam adegan, tetapi mengikuti gerak pemain yang jatuh bangun.
Penyuntingan gambar yang dilakukan Ryan Purwoko, musik yang ditata Andhika Triyadi, serta penataan suara oleh Khikmawan Santosa, membuahkan keharmonisan pada irama film, baik itu pada suasana dinamis maupun yang romantis.
Lebih dari itu penonton sering tertawa spontan, sebagai reaksi terhadap beberapa kalimat dialog Dilan dengan Milea pada film ini. Kalimat – kalimat tersebut juga seperti yang tertulis pada novel. Di antaranya;
“Nanti kalau kamu mau tidur, percayalah, aku sedang mengucapkan selamat tidur kepadamu dari jauh. Kamu nggak akan dengar,” kata Dilan kepada Milea melalui sambungan telepon.
“Jangan bilang padaku ada yang menyakitimu, nanti besoknya orang itu akan hilang,” kata Dilan juga melalui sambungan telepon.
“Jangan rindu, berat, kau tak akan kuat, biar aku saja.” kata Dilan yang melarang Milea untuk merindukannya.
“Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu, enggak tahu kalau sore, tunggu aja,” ucap Dilan memecah keseriusan Milea yang sedang membaca novel di dalam angkutan umum.
“Selamat ulang tahun Milea, ini hadiah untukmu, cuma TTS, tapi sudah kuisi semua. Aku tidak mau kamu pusing karena harus mengisinya, Dilan,” tulis Dilan dalam secarik kertas yang diselipkan pada TTS hadiah ulang tahun Milea.
SINOPSIS
Milea (Vanesha Prescilla) bertemu dengan Dilan (Iqbaal Ramadhan) di sebuah SMA di Bandung. Saat itu tahun 1990, ketika Milea pindah dari Jakarta ke Bandung. Perkenalan yang tidak biasa kemudian membawa Milea mulai mengenal keunikan Dilan lebih jauh. Dilan yang pintar, baik hati dan romantis. Cara Dilan mendekati Milea tidak sama dengan teman-teman pria lainnya, bahkan Beni, pacar Milea di Jakarta.
Cara Dilan berbicara yang terdengar kaku, lambat laun membuat Milea merindukannya, jika sehari saja tidak mendengar suara itu. Bahkan hal-hal unik dan sederhana yang dilakukan Dilan untuk Milea, bisa membuat Milea tersenyum.
Perjalanan hubungan Dilan – Milea tidak selalu mulus. Beni (Brandon Salim), Anhar (Giulio Parengkuan), Kang Adi (Refal Hady), Susiana (Stefhanie Zamora Husen), gank motor, dan tawuran, semuanya ikut andil pada suasana itu.
Perlahan tapi pasti, Milea mulai merasa tak ingin kehilangan sosok Dilan dari kehidupannya. Pada akhirnya Milea pun memutuskan hubungannya dengan Beni, karena Beni adalah cowok yang emosian dan manja. Sejalan dengan itu, hubungan Dilan dan Milea pun semakin akrab.
Tingkah laku yang tak terduga serta berbagai rayuan yang dilancarkan Dilan membuat Milea rindu akan kehadiran Dilan. Milea yang penasaran akhirnya jatuh cinta dengan pria yang awalnya ia anggap aneh. Seperti hadiah ulang tahun berupa buku Teka-Teki Silang (TTS) yang sudah diisi penuh. Agar Milea tak pusing untuk mengisinya.
Kala Milea sakit, Dilan mengirim tukang pijat bukannya langsung datang menjenguknya. Namun hal-hal aneh itulah yang membuat Milea luluh dan terus merindukan Dilan, menanti suara telepon di rumah berdering hanya untuk mendengar suara di seberang yang gemar merayu.
Film Dilan 1990 memang film tentang kisah cinta di SMA, percintaan anak remaja. Namun, sepertinya tidak hanya Kids Zaman Now saja yang bisa menikmati film tersebut. Penonton yang pernah menjadi remaja dan mereka yang pernah mengalami masa pacaran sewaktu di SMA, dapat dipastikan akan menikmati bila menonton film ini. Sebagai sarana mereka untuk bernostalgia, walaupun film Dilan bersetting Bandung tahun 1990.
Akhirnya, meskipun film Dilan 1990 yang diangkat dari novel Best Seller Dilan 1990 kemudian Box Office dalam peredaran merupakan fenomena, sebenarnya hal itu belum mematahkan adanya anggapan bahwa “tidak ada resep baku untuk membuat film laku di peredarannya”. Karena itu lebih bijaksana bila para pelaku industri film di Indonesia, memiliki tekad membuat film secara baik dan benar serta tidak pelit promosi. Mudah-mudahan begitu adanya. ( )