Visual Indonesia, Bekasi,-
Berangkat dari keprihatinan kasus beredarnya ‘Vaksin Palsu’ di Bekasi, PP IAI (Pengurus Pusat lkatan Apoteker Indonesia) tidak saja membentuk Tim GPP IAI yang bertugas membantu pemerintah dan rumah sakit agar tidak terulang lagi. Sekaligus Tim di bawah pimpinan Dra. Aluwi Nirwana Sani, Msi, Apt ini, juga memastikan bagaimana kualitas obat yang digunakan di rumah sakit.
Seperti diketahui, ketersediaan obat menjadi alasan paling besar dalam kasus vaksin palsu yang pernah terjadi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas mengawasi pelaksanaan UU No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diharapkan dapat membantu mengurai masalah ini.
Begitu juga dalam soal pentingnya pengolahan limbah agar tercegah dari terjadinya pemalsuan obat. Di mana Kementerian Lingkungan Hidup sepatutnya menaruh perhatian dalam pengolahan limbah rumah sakit yang memungkinkan untuk disalahgunakan, sebagaimana yang terjadi dalam kasus vaksin palsu.
Sementara Kementerian Kesehatan pun harus melakukan kontrol ketat terhadap distributor yang bertanggungjawab terhadap distribusi obat hingga ke rumah sakit. Dalam hal ini, rumah sakit harus melakukan seleksi ketat pula dalam memilih distributor. Rumah sakit harus memilih distributor resmi untuk pengadaan obat-obatan di rumah sakitnya.
Oleh karena itu, PP IAI melakukan serangkaian workshop terkait ’Peningkatan Kompetensi Apoteker dan Implementasi Pelayanan Kefarmasian Yang Baik’ (berdasarkan Permenkes No 72 Tahun 2016/GPP) di 40 RS Se-Kota Bekasi’, yang dihadiri Kepala Sekretaris Daerah Kota Bekasi, Drs. Rayendra Sujarmadji, Direktur Pelayanan Kefarmasian Kemenkes RI, Dra R Dettie Yuliati, Apt, MSi, Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes RI, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi, dr Kusnanto Saidi, MARS, Ketua PP IAI, Drs Nurul Falah Eddy Pariang, Apt, President FAPA, Mr Joseph Wang dan Chief of Party, Promoting the Quality of Medicine Program USP Indonesia, Mr Christopher Raymond, serta 40 perwakilan Rumah Sakit se-Kota Bekasi.
PP IAI menggandeng FAPA Foundation GPP Expert Group untuk membantu merumuskan bagaimana Permenkes 72/2016 dapat diimplementasikan di rumah sakit, yang terdiri dari Mr Joseph Wang (President FAPA), Dr Chang Yuh Lih (Taipe Veterans General Hospital), Dr Chiang Shao Ching (Sun Yat Cancer Center), dan lvan Hung Chang Chou (Executive Director Taiwan Young Pharmacist Group) membantu Tim GPP IAI selama kegiatan berlangsung.
GPP Consulting Team memberikan 7 pedoman untuk mengimplementasikan GPP di rumah sakit se-Kota Bekasi dan bersama Tim GPP IAI kemudian menyusun jadwal kegiatan yang akan berlangsung hingga Februari 2018 mendatang.
Kegiatan dimulai dengan penandatanganan kerjasama antara IAI dengan Walikota Bekasi, Juni 2017, lalu disusul MoU dengan Kadinkes Kota Bekasi, kemudian dilakukan survei ke 40 RS se-Kota Bekasi untuk memotret pelaksanaan GPP di rumah sakit tersebut.
Workshop yang diikuti 40 Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit se-Kota Bekasi mengenai implementasi GPP di rumah sakit mereka masing-masing, di Aston Bekasi (7/8), diharapkan mampu meningkatkan pelayanan kefarmasian yang baik sesuai Permenkes 72/2016. Selanjutnya, Tim GPP IAI bersama GPP Consulting Team FAPA Foundation akan terus membimbing dan memantau implementasi Permenkes ini, hingga akhir kegiatan.
Ditunjuknya Kota Bekasi sebagai Pilot Project dari Permenkes 72 Tahun 2016 ini, dapat dilakukan di kota-kota lain di seluruh Indonesia, sehingga Permenkes No 72/2016 dapat dilaksanakan dan dipatuhi oleh seluruh rumah sakit yang beroperasi di Indonesia. Dengan begitu, akan turut serta berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan Indonesia.
Seperti diketahui, upaya peningkatan kualitas obat di rumah sakit, dapat dilakukan melalui empat lini yaitu dari dalam rumah sakit sendiri dengan memberdayakan keberadaan apoteker di rumah sakit, dengan kontrol distributor obat secara ketat oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, mengontrol secara ketat limbah rumah sakit yang diharapkan menjadi perhatian Kementerian Lingkungan Hidup, serta ketersediaan obat di pasar.
Dari dalam rumah sakit, upaya dilakukan dengan memberdayakan apoteker yang menjadi penjaga gawang bagi keamanan obat yang diberikan kepada pasien. Jumlah apoteker yang cukup di setiap unit, keterlibatan apoteker dalam pengadaan obat-obatan diharapkan menjadi salah satu cara untuk menghindari masuknya obat-obatan palsu maupun obat dengan kualitas di bawah standar ke rumah sakit.
Ketersediaan apoteker di Rumah sakit, selama ini belum secara signifikan mempengaruhi peringkat akreditasi yang diperoleh oleh Rumah Sakit. Seharusnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pelayanan di rumah sakit, ketidakseimbangan jumlah apoteker dengan jumlah tempat tidur dan banyaknya pasien yang dilayani menjadi satu pertimbangan rendahnya akreditasi yang dapat diraih oleh rumah sakit tersebut.
Sehingga sangat patut dipertimbangkan untuk merasionalisasi jumlah apoteker dengan kapasitas pelayanan di rumah sakit. Jika tidak, Komite Akreditasi Rumah Sakit perlu memberikan penekanan khusus agar rasio apoteker dan kapasitas pelayanan dapat diseimbangkan.
(ayen; foto mm