Visual Indonesia, Jakarta,-
Kearifan Lokal merupakan dasar dari lahirnya sebuah kebudayaan yang berdasarkan asimilasi dan evolusi antara masyarakat setempat, dengan kondisi alam setempat. Dan sebagai sebuah kebudayaan ada yang berwujud (patung, lukisan dan benda-benda kebudayaan lainnya), maupun yang tidak berwujud (seperti tarian, prilaku maupun dalam konteks pemikiran).
Jadi secara otomatis kearifan lokal merupakan kunci dari masyarakat tersebut dalam menghadapi perkembangan jaman dan dari berbagai pengaruh perkenalan mereka terhadap kebudayaan lain.
Perkembangan telekomunikasi dan transportasi dunia memegang peranannya yang penting untuk berinteraksi antar negara tanpa jarak dan menembus batas waktu. Sehingga disisi lain seolah perlindungan terhadap kebudayaan semakin rentan. Padahal masyarakat kebudayaan secara alami terus menerus mereproduksi dirinya serta menyaring setiap elemen-elemen baru yang masuk dalam kebudayaan itu dan terfilterisasi dengan sendirinya.
Memang dalam kaitan sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara, pastinya membutuhkan peran pemerintah yang kuat untuk bisa memperkuat kebudayaan bangsanya dari pengaruh penetrasi budaya asing, khususnya yang masuk secara perlahan dan berkelanjutan sehingga di pandang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam skala nasional maupun lokal.
Lunturnya kebudayaan lokal oleh kebudayan asing (asing dalam pengertian kebudayaan milik masyarakat dari luar masyarakat lokal itu sendiri), kemudian berkembang menjadi kebudayaan nasional yang bercampur dengan kebudayaan dari luar negeri dan seterusnya.
Disadari atau tidak, kebudayaan terus berevolusi bahkan berrevolusi selama ribuan tahun, yang sesungguhnya kita hanya mengenal kebudayaan berujud maupun non-ujud yang sudah bercampur dengan berbagai kebudayaan dari bangsa-bangsa lain.
Dan catatan, gambar, foto dan rekaman lain merupakan media yang tepat untuk mendokumentasikan perkembangan penetrasi kebudayaan asing dalam kearifan lokal yang kita miliki. Kita pun pada akhirnya bisa melihat keaslian sebuah unsur kebudayaan yang kita miliki sekaligus seberapa besar kebudayaan luar telah mempengaruhi kebudayaan lokal itu sendiri.
Disinilah sesungguhnya peran pemerintah hadir untuk memetakan kekuatan-kekuatan dari unsur-unsur kebudayaan yang berkembang secara alamiah untuk memproteksi dirinya dari penetrasi asing sebagai sebuah investasi jangka panjang dari generasi ke generasi. Bukannya menghabiskan banyak investasi hanya untuk sebuah perjalanan dari festival ke festival ataupun promosi ke mancanegara, yang sesungguhnya hasilnya tidak membumi bagi masyarakat kebudayaan di republik ini.
Catatan, gambar, foto, atau rekaman suara, media rekam audio-visual merupakan perkembangan teknologi yang dapat membantu merekam berbagai unsur kebudayaan secara lebih utuh sebagai ujud dari kearifan lokal. Namun realitanya, sejak Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, upaya perekaman kebudayaan sebagai ujud nyata dari kearifan lokal kita oleh negara sangatlah terbatas.
Bagaimana dengan kearifan lokal dalam film-film Indonesia sebagai kekuatan penetrasi budaya asing?
Secara tegas disebutkan bahwa ruh dari dari film-film Indonesia untuk mewujudkan kekuatan kearifan lokal sebagai upaya penetrasi budaya asing yang masuk yakni berada pada pentingnya kekuatan skenario terhadap hal tersebut.
Karena ketika materi yang terkumpul, lalu diedit menjadi sebuah film tentu saja ada unsur subyektivitas dari tim perekam (baca: sutradara, produser dan investor) akan masuk dan terlihat dalam film tersebut. Faktanya pun belum tentu sejalan dengan kearifan lokal terkait dengan alur cerita yang ditampilkannya.
Dari skenario, kita dapat mengukur kandungan kearifan lokal itu sendiri. Apakah penulis skenario memikirkan dan memasukkan unsur budaya terkait kearifan lokal dalam alur cerita film yang ia tulis? Misalnya apakah pola pikir orang bijak sebuah wilayah tertentu tercermin dalam dialog film? Apakah pembuat film memikirkan dan berupaya memasukan pola pikir kelompok masyarakat yang diangkat dalam film? Atau hanya melulu terpaku pada mewujudkan alur cerita skenario film tanpa memasukkan unsur kearifan lokal terkait dengan kehidupan masyarakat yang diangkat dalam film?
Topik dan alur cerita film akan mempengaruhi seberapa jauh/banyak kearifan lokal bisa masuk ke dalam film tersebut. Sehingga bahasa nasional maupun bahasa daerah sebagai bagian dari kearifan lokal dapat turut memainkan perannya dalam upaya penetrasi budaya asing melalui film-film Indonesia yang diproduksi. Film pun secara langsung maupun tidak langsung dipakai untuk merekam bahasa-bahasa daerah yang punah maupun yang mulai ditinggalkan kepada masyarakat Indonesia secara luas tetapi juga masyarakat dunia.
Sekali lagi, masyarakat film pada khususnya membutuhkan sikap dan kebijakan tegas dari pemerintah sendiri. Sudahkah dianggap pentingkah film sebagai alat tangkal penetrasi kebudayaan asing atau masih saja dianggap sebagai media propaganda semata?Haruskah pula kalau dianggap alur ceritanya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah maka film bisa dilarang beredar? Atau film bahkan tidak boleh diproduksi? Ataukah ada kebijakan pemerintah terhadap film-film Indonesia yang bermuatan kearifan lokal di berikan insentif yang menunjang kreatifitas tersebut?
Pemerintah cukup menfasilitasi berbagai perijinan, membantu koordinasi dengan berbagai lembaga terkait, agar produksi bisa berjalan lancar hingga menghasilkan sebuah film yang dibuat dengan baik dan benar. Pemerintah bahkan membantu hingga tahap penyensoran sehingga bisa ditonton oleh masyarakat. Di tahap eksibisi, pemerintah harus terus membantu pengadaan bioskop murah dengan harga terjangkau oleh kebanyakan generasi penonton film.
Kalaupun pemerintah mau membantu perkembangan film cerita nasional agar bisa mencegah penetrasi kebudayaan asing melalui film asing yang masuk dan beredar di Indonesia, cobalah bantu dari segi pajak yang membebani produksi sebuah film nasional. Berbagai pajak yang timpang tindih mulai dari masa pengembangan film, produksi, pasca produksi hingga peredarannya.
Di luar produksi film cerita, pemerintah sebaiknya mengembangkan SDM film itu sendiri. Mulai dari petinggi film terkait berbagai kebijakan pemerintah dan perundang-undangan film, kemampuan teknis dan teoritis dari kru film, kemampuan penulisan bagi para jurnalis film hingga tingkat kesadaran penonton film dalam mengapresiasi sebuah karya. Berbagai pelatihan yang memang diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan para pesertanya. Bukan hanya sekedar proyek untuk menghabiskan anggaran.
Kalaupun pemerintah memang sudah menganggarkan sebuah produksi film, untuk saat ini, sebaiknya bantuan dana tersebut diarahkan kepada generasi muda filmmakers. Bantulah mereka mulai dari berbagai pelatihan terkait teori hingga praktek, penguasaan terhadap perkembangan teknologi alat yang terus melaju di era digital ini, sampai ke pelaksanaan sebuah produksi dan peredarannya itu sendiri.
Perkembangan menakjubkan dari film pendek dan film dokumenter yang dibuat oleh generasi muda (baca: generasi SMP dan SMK) dewasa ini memerlukan banyak bantuan dana yang nyata.
Kebijakan kebudayaan terkait produk audio-visual akan menjadi kunci pemerintah dan masyarakat bersama-sama meningkatkan mutu film yang diproduksi. Semakin banyak film bermutu yang diproduksi maka akan semakin kuat upaya pelestarian kearifan lokal. Baik dalam ujud rekaman kebudayaan asli maupun ujud rekaman kebudayaan, katakanlah, modern. Kearifan lokal yang ditampilkan dalam sebuah film dengan cerita terkait kehidupan dewasa ini akan menunjukkan adaptasi dari kearifan lokal itu sendiri terhadap realita perkembangan jaman.
Sejalan dengan itu maka harus ada kesadaran bersama untuk memakai film bermutu sebagai alat tangkal penetrasi kebudayaan asing yang masuk melalui produk audio-visual ataupun jalan lain. Adaptasi pasti terjadi tapi tidak berarti kearifan lokal boleh dipengaruhi oleh kebudayaan asing.
(* Sebuah Catatan Diskusi Jurnalis Film, Musik dan Hiburan – Forwan Indonesia, dan Pusbangfilm Kemendikbud, Hotel Santika Slipi, 24 Mei 2017)