Visual Indonesia, Jakarta,-
Kopi luwak pernah difatwakan Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena mengandung najis. Namun halal jika dicuci terlebih dulu sebelum dikonsumsi. Bahkan dari sebuah cerita rakyat di daerah Abyssinia, sekarang Etiopia, buah menyerupai beri merah dapat menimbulkan efek rasa segar tidak saja bagi binatang, namun juga manusia. Tapi para agamawan justru mencurigai efek energi dari buah itu, dan menganggapnya sebagai “pekerjaan setan”.
Sejak Etiopia menginvasi Yaminaan pada abad ke-6, mereka membudidayakan kopi di sana. Aktivitas perdagangan dengan bangsa Arab ikut membantu mempopulerkan kopi. Bangsa Arab jualah yang menemukan cara baru mengonsumsi buah ini. Yakni dengan mulai menyeduh sebagai minuman seperti sekarang. Sebelumnya kopi dimakan dengan cara dibungkus lemak binatang.
Bangsa Arab menyambut baik kopi karena dianggap dapat menggantikan minuman keras yang dilarang dalam Islam. Dan penamaan kopi atau coffee dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Arab, qahwa, yang berarti minuman anggur, alias wine. Sebagian lainnya meyakini akar kata coffee adalah: kaffa, sebuah wilayah di Etiopia; istilah Arab quwwa yang berarti kekuatan; atau kafta, nama minuman yang dibuat dari tanaman khat. Di Indonesia, kata “kopi” berasal dari bahasa Belanda koffie.
Tak berlebihan jika penyebaran kopi bersama Islam. Kemana Islam pergi, ke sana pula kopi ikut. Ketika Islam merentangkan pengaruhnya ke Turki, kopi dapat ditemukan di negara-negara Balkan, Spanyol, dan Afrika Utara.
Hingga abad ke-15 tak ada bibit kopi yang menyebar. Bangsa Arab sadar arti penting kopi sebagai komoditas, memonopoli peredaran kopi dengan mencegah peredaran bibit kopi ke luar daerah Arab. Kebun-kebun kopi pun dijaga ketat. Tapi rencana ini berantakan hanya gara-gara Baba Budan, jamaah haji asal Mysore, India, menyelundupkan tujuh bibit kopi dengan menempelkan di perutnya, lalu memulai perkebunan kopi di kampungnya.
Dalam dunia medis, pada abad ke-9, Al Razi menjadi orang pertama yang menyebut kopi dalam tulisannya dengan memasukkan kata bunn dan sebuah minuman bernama buncham, dalam ensiklopedi tentang zat-zat yang dipercaya menyembuhkan penyakit. Sayangnya, karya ini telah musnah.
Sementara pada abad ke-11, Ibnu Sina mengatakan, “bunchum dapat membentengi tubuh, membersihkan kulit, dan mengeringkan kelembaban di bawahnya, serta memberikan bau yang enak untuk tubuh”.
Di Turki, pada tahun 1453, berdiri toko kopi pertama di dunia, Kiva Han. Pentingnya kopi dalam kehidupan masyarakat Turki membuat negeri ini membolehkan tuntutan untuk menceraikan suami yang tak mampu memenuhi kebutuhan kopi untuk istrinya. Hal ini menunjukkan bahwa kopi telah menjadi komoditas sehari-hari.
Ketika kedai-kedai qahveh mulai populer, para politikus, filosof, seniman, pendongeng, pelajar, wisatawan, hingga pedagang ngopi sambil menonton pertunjukan musik atau mendiskusikan soal-soal politik, sosial, dan keagamaan sambil minum kopi.
Penentangan terhadap kopi oleh kaum agamawan pun kembali muncul. Bahkan banyak penguasa menganggap rakyatnya menghabiskan terlalu banyak waktu dengan bersenang-senang di kedai kopi. Apalagi kedai kopi juga menjadi ajang pesta-pora, main judi, catur, dan permainan lainnya.
Sekelompok Muslim pun mengekspresikan kemarahannya, karena kopi yang dianggap sebagai teman ibadah mereka diperlakukan seperti itu. Mereka menutup paksa kedai-kedai kopi. Bahkan di Konstantinopel terjadi kekerasan; seorang yang dianggap melanggar kesucian kopi diikat pada sebuah kantong kulit dan dijebloskan ke sungai. Untuk mengatasinya, pemerintah setempat mengambil jalan tengah. Kedai kopi boleh dibuka jika mereka bersedia membayar pajak.
Pada 1511, Gubernur Mekkah Khair-Beg, menganggap pengaruh kopi tak ubahnya seperti anggur, ia pun melarang kedai-kedai kopi di kotanya. Hal tersebut berhenti hanya karena Sultan Kairo, yang menggandrungi kopi, membatalkan keputusan itu.
Berbeda dengan masyarakat Arab, hingga abad ke-16, orang-orang Eropa belum mengakrabi harum kopi. Saat para pedagang Venesia membawanya ke Eropa, kopi segera menggebrak seisi benua tersebut. Tapi di Italia, beberapa pemuka gereja menunjukkan kekhawatirannya dengan menyebut kopi sebagai “temuan pahit setan” sehingga meminta Paus Clement VIII melarangnya.
Tapi Clement VIII memutuskan untuk mencicipinya sebelum menjatuhkan putusan. Namun setelah minuman setan ini diseruputnya, Clement justru merasa sayang jika membiarkan para Muslim memilikinya secara eksklusif. Oleh karenanya Clement memutuskan untuk “membaptis kopi” Sejak itulah, penyebaran kopi di Eropa tak terbendung lagi hingga hari ini.
(hor/ yuri ; foto mm