Jakarta,-
Tari Topeng “Rasa Jepang” dengan lakon Mahabarata Part 3 Kurusetra War, sebuah karya epos klasik india dalam kemasan dan pemikiran baru Hiroshi Koike Bridge Project, yang didukung The Japan Foundation, Jakarta, Yayasan Kelola, Teater Garasi dan Dewan Kesenian Jakarta. Pertunjukan akan digelar di Graha Bhakti Budaya Taman lsmail Marzuki Jakarta pada 28-29 September 2016.
Hiroshi Koike, sang sutradara Tari Topeng Mahabarata “Rasa Jepang” ini, berkolaborasi dengan seniman-seniman dari berbagai negara di Asia seperti seniman Carlon Matobato (Filipina), Gunawan Maryanto (lndonesia), Lee Swee Keong (Malaysia), Sachiko Shirai (Jepang), Testuro Koyano (Jepang), Riyo Tulus Fernando (lndonesia), Sandhidea Cahyo Narpati (Indonesia), Suryo Purnomo (Indonesia), dan Wangi lndriya (lndonesia).
Kisah Mahabharata bak mata air yang terus mengalirkan inspirasinya bagi siapa saja, tak terkecuali bagi Koike. Karena selalu saja ada bagian dari epik ini yang menarik untuk diulik dan digubah jadi karya baru, seperti pada fragmen Perang Kurusetra.
Namun Hiroshi, pada proyek kolaborasinya dengan beberapa negara Asia, tetap membuka ruang dialog dan diskusi untuk menyamakan persepsi kepada para seniman yang terlibat terkait upaya memahami karyanya yang akan dipentaskan. Sehingga memungkinkan tafsir lokal di tiap negara atas Mahabharata memunculkan rasa dan interpretasi yang unik namun mudah dikenali.
Tari Topeng Mahabarata versi Hiroshi Koike ini terbagi dalam 5 bagian dan setiap produksi dilakukan di negara berbeda. Pertunjukan di Indonesia merupakan kelanjutan dari Mahabarata Part 1 yang dipentaskan di Kamboja, menyusul Mahabarata Part 2 di India serta Mahabarata Part 2.5 di Jepang. Sedangkan serial ke 4 direncanakan akan diselenggarakan di Thailand (2017), Malaysia (2018), India (2019) dan puncaknya (2020) bertepatan dengan Olimpiade Tokyo.
Kisah epik Mahabarata bagi Hiroshi sebagai catatan umat manusia yang akan berakhir dalam ketidaklengkapan. Jika ‘yang terkuatlah yang akan bertahan” menjadi aturan main di dunia, maka umat manusia tidak akan tersisa sebagai survivor. Kita butuh meningkatkan kemampuan kita untuk hidup bersama secara sosial lebih daripada sekarang, dengan berpegang pada perspektif sebagai umat manusia seutuhnya.
Setidaknya kita telah memiliki sudut pandang bahwa eksistensi kita terkait dengan berbagai makhluk di sekitar kita, jauh sebelum kita menganggap diri kita sebagai makhluk terbaik di atas makhluk lainnya. Dan perspektif ini mewujud pada sebuah mitos. Dan Mahabarata adalah satu dari mitos-mitos demikian yang telah ditulis ribuan tahun lalu untuk mengingatkan umat manusia.
(tjo; foto muller