5 Lukisan Ikonik Koleksi Istana yang Langka dan Sejarahnya

by -
Raden Saleh - Penangkapan Pangeran Diponegoro - Oil on canvas - 112 x 179 cm - 1857 - Foto: Muller Mulyadi

Jakarta,-

Dari 28 lukisan langka koleksi Istana Kepresidenan yang dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia ( 02 – 30 Agustus 2016 ) , setidaknya ada 5 lukisan ikonik yang wajib untuk dilihat. Kurator Mikke Susanto, menjelaskan secara umum, makna ‘Goresan Juang Kemerdekaan’ adalah imaji, citraan, gambaran, visualisasi yang mengisahkan dan menuturkan kisah-kisah heroik, bersejarah, dan mengandung semangat untuk merdeka, bebas menuju sebuah tujuan, yakni negara berdaulat, adil, dan makmur.

Berikut 5 lukisan ikonik menurut Mikke :

1. Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)
Raden Saleh
112 x 179 cm
Cat minyak di kanvas

Lukisan ini ditaksir berharga Rp. 100 milliar, Raden Saleh merupakan pelukis kenamaan dunia yang berasal dari Jawa. Lahir di Semarang tahun 1811 dan wafat di Bogor tahun 1880, hidupnya dihabiskan di Eropa dan Jawa. Dia dianggap pelopor senirupa modern Indonesia.
Dengan kepiawaiannya, ia melukis berbagai tema, diantaranya adalah lukisan sejarah Pangeran Diponegoro atau peristiwa Perang Jawa, yang terjadi pada tahun 1825-1830. Lukisan ini terinspirasi oleh lukisan pelukis Belanda bernama Nicholaas Pienemaan bertajuk Penyerahan Diri Dipo Negoro kepada Letnan Jenderal H.M. de Kock, 28 Maret 1930, yang mengakhiri Perang Jawa.

Berbeda dengan Pienemaan, lukisan ini lebih bernada nasionalisme ala jawa sekaligus memberi gambaran tentang dramatisasi hidup sang pangeran di depan tentara penjajah. Hal ini terlihat pada judul dan sikap figur Diponegoro yang ada pada lukisan Raden Saleh.

Lukisan ini dikerjakan oleh Raden Saleh di Belanda dan diserahkan pada Ratu Belanda. Lukisan ini mengecam sikap penjajahan di Jawa dan menuntut agar Belanda mengembalikan martabat orang Jawa. Raden Saleh juga menggambar dirinya dalam lukisan, sebagai seorang saksi prnangkapan yang penuh kecurangan tersebut.

Lukisan ini oleh Pemerintah Belanda diberikan kepada Pemerintah Indonesia pada tahun 1978, bersamaan dengan peristiwa kembalinya sejumlah artefak warisan budaya lainnya. Sejak saat itu hingga sekarang, karya Raden Saleh ini menjadi bagian penting di Istana Kepresidenan Republik Indonesia .

2. Kawan-kawan Revolusi (1947)
S. Sudjojono
95 x 149 cm
Cat minyak dikanvas

Lukisan yang dikerjakan atas tantangan yang diberikan oleh kritikus seni, Trisno Sumardjo, sebagai pembuktian kemampuan teknis melukis realisnya yang dianggap lambat. Lukisan tersohor karya Sudjojono yang bertajuk Kawan-kawan Revolusi lahir pada tahun 1947, diselesaikan dalam satu waktu atau kurang dari satu hari. Sudjojono melukisnya ketika dia sedang berada di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) wilayah Solo.
Menurut istri pertama Sudjojono, Mia Bustam, lukisan ini dilatari oleh sikap heroiknya seorang pejuang bernama Bung Dullah (bukan pelukis Dullah) yang berhasil mengebom empat tank serdadu Belanda dengan sejumlah bom yang diikatkan di pinggangnya. Bung Dullah lalu diselipkan dalam lukisan ini diantara 19 wajah yang lain.
Dalam lukisan ini diantaranya ada wajah anak pertamanya yakni Tedja Bayu, lalu Mayor Sugiri, Basuki Resobowo, Soerono, Trisno Sumardjo, Ramli, Suromo, Bung Dullah, Nindyo, Kasno, Oesman Effendi, Soedibio, Yudhokusumo, dan Kartono Yudhokudumo.
Lukisan ini dibeli oleh Sukarno dan dipasang di Istana Negara Jakarta. Pada suatu saat ketika ada tamu negara yaitu tim kesebelasan sepak bola Lokomotif dari Uni Sovyet, Sukarno menerangkan pejuang Bung Dullah pada Bubukin (pimpinan rombongan), seusai mendengar kisah tersebut, Bubukin mengajak semua rekannya untuk berdiri di depan lukisan dan mengheningkan cipta untuk Bung Dullah, pahlawan sederhana itu.

3. Rini (1958)
Ir. Soekarno
50 x 70 cm
Cat minyak di kanvas

Dullah menuliskan dalam buku koleksi lukisan Soekarno, tentang Rini ” Selang beberapa jang lalu Bung Karno pergi beristirahat di Bali. Dullah, pelukis Istana Presiden, diadjaknya. Seperti biasa Dullah di Bali mentjoba membuat lukisan. Tetapi baru sadja dibuat garisgaris tjenkorongan (sketch) yang belum berarti telah ditinggalkan kembali ke Jakarta dan tidak dikerdjakannya lagi. Pada akhir Nopember masuk awal Desember 1958 Bung Karno kembali lagi ke Bali untuk beristirahat selama 10 hari tetapi Dullah tidak ikut. Selama sepuluh hari di Bali Bung Karno melukis menyelesaikan sketchnya Dullah hingga selesai menjadi sebuah lukisan. Tentu sadja banjak dibuat perobahan-perobahan dan tambahan-tambahan dari sketch semula.

4. Gadis Melayu dengan Bunga (1955)
Diego Rivera
120 x 175 cm
Cat minyak di kanvas

Lukisan ini konon hasil rayuan maut Sukarno. Menurut cerita Guntur Sukarno, awalnya lukisan ini oleh Presiden Lopez (Meksiko) tidak akan diberikan kepada siapapun, karena lukisan tersebut adalah lukisan yang sangat langka, bersejarah bagi bangsa dan rakyat Meksiko, sehingga ada undang-undang khusus yang melindungi lukisan tadi.
Dalam konstitusi tersebut antara lain dicantumkan bahwa dalam keadaan apapun, lukisan tersebut tidak dibenarkan keluar wilayah negara Meksiko.
Jadi rupanya sebelum lukisan tadi menjadi hadiah kenang-kenangam dari Presiden Meksiko, dibelakang layar telah terjadi suatu proses “rayu merayu” tinhkat tinggi antara Sukarno dan Lopez.
Entah bagaimana caranya, Sukarno berhasil merayu dan mendesaknya. Akhirnya mereka “tekuk lutut”, alias meluluskan permintaan Sukarno untuk memboyong lukisan tersebut ke Indonesia.
Karena lukisan tadi sudah terlanjur dilindungi oleh konstitusi, maka terpaksalah Presiden Meksiko mengeluarkan lukisan tadi dari Meksiko. Pembantu Sukarno bagian lukisan, A.R. Gapoer mengatakan bahwa lukisan Women with Flowers karya Diego Rivera, “seniman nomor wahid kelas dunia yang dimiliki Meksiko” adalah pemberian presiden Meksiko.
“Itu mahal sekali, karena disertai dengan dekrit Presiden Meksiko untuk mengeluarkannya dari negara itu”, kata Gapoer.

5. Memanah (1943)
Henk Ngantung
153 x 153 cm
Cat minyak di triplek

Lukisan Memanah Henk Ngantung secara kebetulan dipakai sebagai latar belakang pembacaan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Menariknya secara formal mengonsep lukisan ini sebagai latar belakang acara konferensi pers perdana bagi bangsa yang baru merdeka. Sukarno sendiri yang menemukan lukisan ini pada tahun 1944, tepatnya pada pameran yang diadakan oleh Keimin Bunka Sidhoso, Jakarta.
“Lukisan bagus. Ini sebuah simbol bangsa Indonesia yang terus, terus, dan terus bergerak maju. Paulatim longius itur !” kata Sukarno. Begitu pameran usai, Sukarno diam-diam bertandang ke studio Henk. “Aku ingin membeli lukisan itu” kata Sukarno.
“Untuk Sukarno saya dapat hadiahkan lukisan itu, tapi saya juga perlu uang”, ujar Henk. Henk mengatakan pula bahwa lukisan itu belum selesai, ada bagian lengannya yang belum sempurna. Henk mengatakan bahwa untuk menyelesaikan harus ada model. Saat ini ia sedang tidak ada model.
“Aku Sukarno akan jadi model”, seru Sukarno.
Henk terperangah dan tak bisa menolak. Saat itu pula dilukisnya, dalam waktu sekitar setengah jam proses memperbaiki lengan pun usai, lantas lukisan itu masuk kemobil dan bergegas dibawa Sukarno menuju rumahnya di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sukarno mendayagunakan lukisan ini sebagai materi visual kaya makna.

(yok/mdtj; foto muller

Leave a Reply

No More Posts Available.

No more pages to load.