Jakarta,-
Dibutuhkannya peran Pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (Barekraft) untuk membina para designer serta pengrajin kain etnik di daerahnya menjadi hal yang tak terbantahkan lagi, lantaran hampir 90 persen bahan baku kain katun untuk membuat selembar kain etnik masih harus di impor. Demikian dikemukakan Jadin dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia di tengah-tengah gelaran Fashivaganza bersama Komunitas Designer Etnik Indonesia (KDEI) di Cinere Belleveu Mall, Jakarta Selatan.
Memang, lanjut Jadin tidak terbantahkan bahwa Indonesia sangat kaya dengan ragam corak, warna dan motif dari 700 etnis yang tersebar di 34 Propinsi. Namun sayang 90 persen bahan katun sebagai bahan dasar kain etnik Indonesia masih harus di impor.
Oleh karenanya dengan keberadaan KDEI dimaksudkan dapat bersama Pemerintah membina para designer dan pengrajin untuk tidak saja melestarikan budaya leluhur namun juga mampu membawa fashion etnik Indonesia ke kancah fashion mode dunia, lanjutnya lagi.
Sementara Corrie Kastubi, selaku Ketua III KDEI, optimis bahwa kain etnik Indonesia dapat menembus kancah fashion mode dunia, karena masih banyak ide dan kreasi dari para designer serta pengrajin etnik Indonesia yang ditunggu-tunggu dan bakal menjadi trend mode dunia.
Dengan demikian harapannya, lanjut Didit Maulana, selaku designer etnik, bahwa para designer serta pengrajin tidak latah satu dengan lainnya terhadap trend fashion mode yang ada, tapi justru lebih yakin dan percaya untuk memunculkan karya serta kreasinya yang memiliki kekhasannya sendiri sehingga mampu bertahan bersama trend fashion mode dunia yang berkembang.
Jadi, ujar Melanie, selaku pemilik Metropolitan Development Tbk, yang memberikan ruang berkarya di Teras Mall bagi para designer dan pengrajin yang bernaung dibawah KDEI, meminta Pemerintah lewat Barekraft membantunya membuka wawasan untuk memasuki fashion dunia.
Dengan kata lain, butuh strategi bersama untuk “goes to global”. Perkuat internal dari masing masing designer. Perkuat dasar dari masing masing daerah sebagai kekuatan ciri khasnya sebagai potensi yang bisa dikembangkan. Sekaligus memberikan kesempatan seluasnya untuk mengembangkan diri secara mandiri dengan finansial sekuriti yang di back-up Pemerintah, pungkas Didit Maulana.
(mdtj; foto Muller