Jakarta,-
Musisi yang juga aktor senior, H. Enteng Tanamal, menyampaikan bahwa pencipta lagu di Indonesia kurang dihargai. Padahal menurutnya, pencipta lagu telah berjasa menciptakan lapangan kerja, yang dapat menyerap jutaan tenaga kerja di industri musik.
“Pencipta lagu profesi mulia. Penyanyi tanpa lagu tak mungkin menyanyi. Industri musik tidak akan ada tanpa pencipta lagu. Di Amerika pencipta lagu jauh lebih dihargai dan sejahtera ketimbang di Indonesia,” tukasnya, di tengah peserta dialog “Ngalor-Ngidul Menyoal Industri Musik dan Film Indonesia, yang berlangsung di Gedung Film, Jakarta, Kamis (17/03/2016).
Masih banyak pihak, lanjut Enteng, belum memahami benar bagaimana kewajiban memakai karya cipta lagu. Seperti pengusaha jasa industri hiburan yang hanya mengenal tentang performing right atau hak untuk mengumumkan atau menyiarkan. Padahal ada yang berkaitan langsung dengan pencipta lagu, yaitu mechanical right atau hak untuk menggandakan. “Parahnya lagi banyak aparat penegak hukum, seperti Polisi, Hakim, dan Jaksa, yang belum mengerti dalam soal ini,” tegas Enteng.
Rendahnya apresiasi terhadap para pencipta lagu, kata Enteng, menimbulkan kerugian bagi pencipta lagu, baik kerugian dari aspek Hak Moral maupun Hak Ekonomi. Undang-Undang Republik Indonesia No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, sudah jelas mengatur hal ini. “Hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta lagu. Pada Pasal 8 jelas dikatakan, hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan hak ekonomi atas ciptaannya,” papar Enteng.
Sedangkan bagian awal dialog, yang menyoal perkara film. Peserta dialog intraktif umumnya mempersoalkan film Indonesia yang tak lagi membumi. Film Indonesia, dinilai hanya menyuguhkan segudang mimpi bukan kenyataan. Kurang menghargai apa yang menjadi hak penonton.
“Film kehilangan nilai esensialnya. Film selain rekreatif, mestinya ada nilai deduktif, estetis, moralitas, religius, serta mengandung kebenaran. Sineas kita seringkali cepat puas dalam pencapaian secara teknik, tapi tak punya ruh. Apalagi bicara dalam konteks ke-Indonesiaan,” ungkap seniman tradisi Eny Sulistyowati SPd, SE, salah satu peserta diskusi.
Disamping itu, Ully Sigar Rusady, berpendapat bahwa film tercipta membawa pesan tersendiri. Selain media hiburan, ia juga media edukasi. “Karenanya film harus dapat merefleksikan kehidupan nyata masyarakat. Selain selayaknya mendapat pelajaran serta pendidikan moral, disamping memperoleh hiburan,”papar Ully, yang hadir sekaligus menayangkan trailer film layar lebar gagasannya, ‘My Journey’ (film yang bercerita tentang lingkungan hidup, memyelamatkan mata air).
Para insan musik dan film, mengharapkan agar diskusi serupa dapat digelar secara periodik. Banyak gagasan, dan pemikiran mendalam, serta tindakan komprehensif yang perlu dilakukan secara berkesinambungan, guna menata industri musik dan film Indonesia.
“Wartawan harusnya sadar untuk membela. Yang harus dikoreksi itu adalah aparat. KCI (Karya Cipta Indonesia) harusnya naik kelas menjadi semacam badan penanggulangan pelanggaran hak cipta. FORWAN (Forum Wartawan Hiburan) Indonesia, bikin rekomendasi yang tegas untuk memperjuangkan hak cipta,” ujar Dewan Pertimbangan Forwan, Ir. Setiabudi A.C. Nurdin, berpesan.
Dalam Dialog yang digagas FORWAN (Forum Wartawan Hiburan) Indonesia dan SENAKKI (Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia) tersebut, diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Musik Indonesia (9 Maret 2013 – 2016), dan Hari Film Nasional (30 Maret 1950 – 2016). Menghadirkan sejumlah para seniman, budayawan, insan musik dan film, pemerhati musik dan film. Diantaranya H. Enteng Tanamal, Ully Sigar Rusady, seniman tradisi Eny Sulistyowati SPd, SE, penyanyi Alfian Kadang, personil Band Radja (Ian Kasela, Moldyansyah Kusnadi, Indra, dan Seno Adjie Wibowo), serta Drs. H. Sudarmanto, MM, dari TV Link.
Selain juga para pelaku industri, anggota komunitas dan lembaga musik dan film, diantaranya dari Vidi Vici Multimedia, TV Link,Tri Ardhika Production, KCI (Karya Cipta Indonesia), PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia), SENAKKI (Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia), Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film) Kemendikbud, LSF (Lembaga Sensor Film), serta dari Yayasan Garuda Nusantara (Gabungan Rumpun Pemuda Nusantara).
Sedangkan Soetrisno Boeyil, selaku Ketua Umum FORWAN (FORUM WARTAWAN HIBURAN) INDONESIA, menegaskan bahwa momentum peringatan Hari Musik Indonesia dan Hari Film Nasional, yang di isi dengan kegiatan dialog semoga tidak semata-mata menjadi hajat “seremoni” semata. Dan menyoal kondisi obyektif industri kreatif musik dan film Indonesia adalah alasan Forwan untuk selalu bersama-sama dengan para pecinta musik dan film Indonesia.
Apalagi dengan terbitnya Akta Pendirian dengan Nomor : 58,- Tertanggal 15 Pebruari 2016 melalui Notaris/PPAT, H. Alvin Nugraha, SH, M.Kn, LLM, serta Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dengan Nomor : AHU-0019403.AH.01.07 Tahun 2016, tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Forum Wartawan Hiburan Indonesia – Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dapat bekerjasama untuk tujuan bersama, dengan tetap terikat pada komitmen (karakter), yang menjadi ciri institusi /perusahaan media masing-masing.
Sebagai organisasi yang terbuka, FORWAN (FORUM WARTAWAN HIBURAN) INDONESIA, siap bekerjasama dengan siapa saja, baik individu, kelompok, organisasi pemerintah, non-pemerintah, maupun lembaga bisnis, sosial kemasyarakatan, dengan menitik beratkan pada sinergitas saling memberi manfaat rahmatan lil’alamiin. Dan dialog interaktif dalam rangka memperingati “Hari Musik Indonesia dan Hari Film Nasional 2016,” akan memberi sumbangan dan masukan yang lebih positif dan kreatif bagi pertumbuhan industri musik dan film Indonesia.
Karena narasumber dialog adalah sosok-sosok yang expert di bidangnya. Orang-orang yang secara historis telah membuktikan semangat, dedikasi dan memiliki kompetensi di bidangnya. Sehingga pemikiran dan pandangan mereka hari ini akan dicatat oleh sejarah menjadi sebuah masukan positif bagi tumbuh kembangnya kreativitas dan industri musik dan film Indonesia. Sekaligus mewarnai dan menjadi naskah rekomendasi, agar Musik dan Film Indonesia tidak ditinggalkan penggemarnya. Musik dan Film Indonesia dapat bersaing di tengah tekanan kompetisi global pada era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
(Ist/mdtj: foto dok/dsp