Jakarta,-
Berkarya seni patung adalah mengerahkan segenap sumber daya baik pikiran, laku kreatif, uang, material, tenaga, dan mentalitas. Purjito merupakan ,militansi yang luar biasa karena seluruh pameran tunggalnya diselenggarakan sendiri oleh Purjito dengan mengusung Studio Seni Purjito yang menyiapkan segala kebutuhan pameran tunggalnya.
Purjito adalah orang jawa yang dekat dengan gaya hidup penuh laku, peka membaca tanda-tanda, lewat bacaan-bacaan dan ajaran dalam wayang kulit purwa dengan cerita-cerita yang dramatik penuh tantangan. Latar budaya semacam itulah yang membentuk habitus seorang Purjito yang menjadi sumber penggerak tindakan kreatifnya, pemikiran-pemikiran dan representasinya.
Bagi Purjito secara pribadi karya-karyanya sudah menjadi proses catatan atau tonggak-tonggak, jadi setiap karya sudah menjadi catatan karena melalui proses waktu yang cukup lama dengan belajar mematung sejak tahun 1980 an dan berkarya hingga kini setiap hasil karyanya muncul dengan situasi serta kondisi yang berbeda-beda secara naluri, hati, dan jiwa.
Pada tahun 1989 sampai dengan tahun 1990 saat mematung Purjito benar-benar “ngesoke” dengan menolak pekerjaan “proyek”,karena dalam tahun itu benar-benar ingin berkarya serius dan menghindari yang namanya pekerjaan “proyek”, keseriusan dengan timbul rasa keprihatinan dan bukan keterpaksaan dalam berkarya mematung dia berpuasa, menyendiri, bagi Purjito mematung itu sudah merupakan tirakat baginya.
“Yaa ALLAH berikanlah saya tangan, hati, pikiran, menjadikan karya yang berguna dan bermanfaat”, itu sudah menjadi suara hati yang terus menerus. Pada tahun 1989 – 1990 karya patung Purjito wujudnya vertikal karena rasa kedekatannya dengan tuhan, sehingga apapun yang dilakukannya merupakan sebuah pengabdian.
Kendala persiapan pameran “Memorandum” secara teknis karena ukuran volume yang sangat besar dengan keterbatasan biaya yang sangat terbatas, tetapi kemampuan untuk menyelesaikannya sangat kuat, dalam pameran ini ada beberapa patung lama yang dia pamerkan hanya bentuk volume ukuran yang berbeda.
Salah satu karya patung yaitu IBU yang di kerjakanya sejak bulan november dan selesai pada awal bulan desember 2015, melihat wanita dengan simbol-simbol makro, di jawa contoh satria perang dalam berperang memberi kesempatan pada yang kalah untuk “Sambato Bopo Ngakorso Ibu Pertiwi”, hidup yang terakhir itu masih harus ingat sama bapak ibu yang di ibaratkan langit dan bumi, karena sumber kehidupan itu ibu pertiwi. Bumi menangis dan bumi itu ibu, kiasan-kiasan tidak ada yang lebih berharga dari seorang IBU.
Memproduksi patung figur dengan teknik cor perunggu dipastikan menghabiskan biaya tidak sedikit dan membutuhkan tukang/teknisi profesional, serta sentuhan akhir yang memerlukan kecermatan dan waktu. Kepuasaan seorang purjito adalah apabila patung-patung karyanya itu sudah dibuat dalam media perunggu karena sudah permanent dan abadi.
Dalam rentang 27 tahun, Purjito telah menggelar lima pameran tunggal, diantaranya Pameran Tugas Akhir di ISI Yogyakarta (1988), “Mentari Kecil” di Galeri 678 Kemang, Jakarta (2007), “Mandala Cakra” di FSRD ITB (2009), “Sembah” di Taman Budaya Yogyakarta (2014), dan “Memorandum” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2015). Purjito juga mevisualkan dalam patung figur-figur para pemimpin negara indonesia seperti Soekarno, Gus Dur, Soeharto, BJ Habibie dan Ainun Habibie, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, serta Joko Widodo. Selain itu dihadirkan pula sosok para pemimpin manca negara seperti Barack Obama, Margaret Teatcher, dan Yaser Arafat. (yayo; foto muller