Keterbatasan mengitari kehidupan Ahmad Mahifa sejak kecil. Tumbuh di dusun di lereng Gunung Tidore, di Desa Goto, Gurabunga, ia melewatkan kehidupan yang begitu jauh dari jangkauan modernitas, bahkan terbelakang. Alam dan doa menjadi penguat hidup masyarakat di dusunnya. Ritual tradisional menjadi penopang bagi banyak urusan keseharian di sana. Mereka mengatasi sendiri segala permasalahan dan kebutuhan hidup dengan segala yang disajikan alam.
Dan di atas semua itu, yang menyedihkan, anak-anak dari Gurabunga di tahun 50-an dianggap tak memiliki harapan berarti untuk bisa melintasi nasib melebihi apa yang lazim dicapai laki-laki desa itu. Usai lulus sekolah, mereka akan kembali ke kebun-kebun cengkih, pala, dan lada. Menghabiskan energi di sana dan kembali sebagai lakilaki sukses versi dusun itu.
Ahmad memiliki cita-cita besar. Ia ingin seperti anak-anak muda di pesisir, yang hidup di kota. Mereka bisa memimpin daerah, mampu membuat keputusan yang penting untuk mensejahterakan masyarakat. Mereka berdaya dan dianggap memiliki daya. Ahmad kemudian berjuang menebas apa yang dianggap tak mungkin bagi anak-anak muda di dusunnya. Setelah menempuh pendidikan dalam situasi sulit dan melalui perjalanan berliku, akhirnya ia mampu menjadi pemimpin di Tidore. Menjadi walikota sejak 2005-2010. Dan terpilih lagi, 2010-2015.
Novel kisah nyata ini tak hanya mengisahkan perjalanan hidup yang luar biasa dari seorang anak dusun, tapi juga mengungkap jiwa Tidore secara luas. Betapa daerah yang sungguh jaya di masa lalu dan menjadi magnet bagi kedatangan bangsa-bangsa asing kemudian beranjak redup saat kemerdekaan Indonesia tergenggam. Perjuangan Ahmad mengangkat dirinya mewakili perjuangan Tidore untuk bisa terangkat lagi dari ketersingkiran sejarah. Semangat pantang menyerah tersirat dari novel ini. Pesan penting yang ingin disampaikan: Hidup bukan tentang apa yang terjadi atau tersaji, tapi bagaimana kita menyikapinya.
Kisah nyata perjalanan Achmad Mahifa tersebut tertuang dalam novel biografi ‘Laki-laki dari Tidore’ dan segera akan di tayangkan dalam versi layar lebar. Novel ini tidak hanya menampilkan cerita perjalanan hidup sang tokoh, namun juga menceritakan mengenai keindahan dan budaya setempat. Sehingga akan jauh menarik jika divsualkan didalam layar lebar nantinya.
“Saya betul-betul menikmati perjalanan menuju Tidore meski harus naik pesawat berjam-jam. Kulinernya yang begitu enak dan kebudayaan setempat yang sangat mengunggah perasaan,” jelas Alberthiene Endah, sang penulisnya. (mdtj