Presiden Joko Widodo telah mengapresiasi industri perfilman Indonesia yang ditandai dengan nonton bareng film “Cahaya Dari Timur”, bersama sejumlah menteri kabinet kerja, para artis, dan perwakilan organisasi perfilman Indonesia. Acara tersebut berkaitan dengan peringatan Hari Film Nasional ke – 65, di Istana Negara Jakarta,Senin malam (30/3/2015).
Presiden Jokowi dalam kesempatan tersebut, selain bernostalgia juga menyatakan keprihatinannya, karena jumlah bioskop di Indonesia masih jauh dari Presiden angka normal. Saat ini, ungkap Presiden, terdapat sekitar 1.000 gedung bioskop untuk mencukupi kebutuhan sebuah negara dengan total penduduk sekitar 240 juta.
“Normalnya 5.000 hingga 6.000. Berarti masih kurang sekitar 4.000,” ujar Jokowi dalam sambutannya.
Presiden Jokowi bercerita, pada saat dirinya kecil, ada tiga macam tempat menonton film. “Ada yang elit, ada yang rakyat, dan ada yang misbar (gerimis bubar, layar tancap di ruang terbuka – Pen). Kalau saya nontonnya di rakyat,” kata Jokowi.
Jokowi mengaku sedikit kecewa karena saat ini hanya ada satu macam tempat menonton film, yakni bioskop yang berada di mall-mall besar. “Yang dua tidak ada,” keluhnya.
Oleh karena itu, Presiden menekankan agar Badan Ekonomi Kreatif (BEK) dan kementerian terkait mampu memperbaiki kekurangan tersebut, dengan menambah jumlah gedung bioskop yang mampu diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
“Nanti industri perfilman bisa dibantu dengan insentif pemerintah, bisa insentif pajak, dan lain-lain. Karena tugas pemerintah untuk memberi dorongan. Kita punya pasar yang sangat besar sekali,” kata Presiden.
Diggelarnya peringatan Hari Film Nasional ke – 65, di Istana Negara Jakarta, dengan ditandai nonton bareng film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2014, tersebut, tentunya menjadikan para pelaku industri perfilman Indonesia memiliki harapan.
Di sana ada wacana, Badan Ekonomi Kreatif (BEK) dan kementerian terkait, dapat menambah jumlah gedung bioskop yang mampu diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Juga tentang bantuan pemerintah pada industri perfilman Indonesia, dengan berbagai insentif, bisa insentif pajak, dan lain-lain.
Mudah-mudahan, acara peringatan Hari Film Nasional ke – 65, di Istana Negara Jakarta itu, dapat menjadi awal dari perbaikan industri film Indonesia, khususnya menggerakan minat penonton Indonesia untuk berbondong-bondong datang ke bioskop menyaksikan film karya sineas anak bangsa. Namun demikian, apa tindak lanjut dari semua yang tersirat dari peristiwa itu?
***
Dalam usianya yang ke – 65 tahun perfilman Indonesia, selalu saja mengalami cobaan yang sama dan terulang kembali. Setidaknya, akhir-akhir ini masih banyak film Indonesia yang diterpa oleh minimnya perolehan jumlah penonton, atau tidak mampu meraih minimal 1 juta penonton per judul film, selama waktu edar di bioskop.
Data penonton bersumber dari Cinema 21, PPFI, dan Blitzmegaplex bahwa 10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton berdasarkan tahun edar film pada 2015, yang diunduh beberapa waktu lalu, menunjukkan Film Di Balik 98 memperoleh 648.909 penonton. Selanjutnya bertutut-turut: Kapan Kawin?, 184.538 penonton; CJR The Movie: Lawan Rasa Takutmu, 170.504 penonton; This Is Cinta, 149.239 penonton; Hijab, 123.908, penonton; Air & Api, 115.393 penonton; Takut: Tujuh Hari Bersama Setan, 110.561 penonton; Kampung Zombie, 96.926; Janji Hati, 94.340, dan Nenek Siam, 65.702, penonton.
Berdasarkan angka-angka di atas, timbul pertanyaan yang memggelitik; Apakah betul, saat ini semakin banyak orang yang tidak berminat menonton film Indonesia di bioskop? Jawabnya bisa ya atau tidak, dengan berbagai alasannya.
Harus diakui, film Indonesia memang masih memiliki kekurangan, tetapi yang lebih buruk dari itu, ada persepsi di antara para penggemar “nonton film” mengenai film Indonesia, jauh lebih negatif daripada keadaan yang sebenarnya.
Biasanya semakin jarang seseorang menonton film Indonesia, semakin keras kritik dan cacimakinya terhadap film Indonesia.
Bahlan dengan bekal persepsi yang jelek atas film Indonesia, seseorang yang tidak pernah menonton film Indonesia, dengan mudah dapat mengungkap kekurangan-kekurangan film Indonesia.
Memang, tanpa harus menjadi pakar marketing atau komiunikasi, kita semua semestinya mengetahui bahwa menawarkan sebuah produk sebaik apa pun kepada seseotang yang telah terlanjur mempunyai persepsi buruk, sama seperti menegakkan benang basah. Sementara itu, mengubah persepsi buruk konsumen terhadap suatu produk, adalah pekerjaan yang teramat sulit dan berat. Suka atau tidak suka, itulah kenyataan yang dihadapi perfilman Indonesia, saat ini.
Padahal perfilman Indonesia sempat “menjadi raja” di negeri sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop elit, rakyat, dan misbar, seperti yang disebut Presiden Jokowi dalam kesempatan peringatan Hari Film Nasional ke – 65, di Istana Negara Jakarta.
Penonton film Indonesia sepertinya dapat digolongkan menjadi 2 kelas. Yaitu, pertama penonton menengah ke atas. Penonton ini terhadap film memiliki apresiasi yang tinggi, lebih kritis dan senang menonton film asing. Tidak ada jaminan penonton ini akan menonton film Indonesia, walau sebagus apapun, karena mereka lebih ”mendewakan” film manca negara.
Kedua, penonton kelas menengah ke bawah.
Penonton ini sangat loyal terhadap film Indonesia dan mereka mendapatkan informasi dari tv dan media cetak. Sayangnya mereka mengikuti apa yang akrap disebut, selera pasar, sesuai apa yang jadi trend saat itu. Mereka juga dapat dipastikan akan menonton film Indonesia, asalkan film tersebut mengikuti trend waktu itu.
Mudah-mudahan tidak berhenti pada sekadar wacana, Badan Ekonomi Kreatif (BEK) dan kementerian terkait, segera menambah jumlah gedung bioskop yang mampu diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Juga tentang bantuan pemerintah pada industri perfilman Indonesia, dengan berbagai insentifnya, seperti yang “dijanjikan” Presiden Jokowi.
Sehingga keprihatinan para pelaku industri perfilman Indinesia, atas penurunan capaian jumlah penonton per judul film selama waktu edar di bioskop segera teratasi, karena tersedianya berbagai pasar film di Indonesia.
***
Bila kita melakukan kilas balik, ketika Mari Elka Pangestu memimpin Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, memulai upaya menggalang penonton dengan semboyan “Aku cinta film Indonesia” saat memperingati Hari Film Nasional ke-62, pada tahun 2012.
Ditengarai ketika itu, kondisi perfilman nasional dalam lima tahun terakhir, semenjak 2007 makin baik dari sudut jumlah film yang diproduksi. Akan tetapi, yang sangat memprihatinkan adalah menurunnya jumlah penonton. Pada 2011, tidak ada film yang berhasil mencapai 800.000 penonton dan rata-rata jumlah penonton per judul film rendah sekali. Karena itu, perlu diadakan penggalangan penonton film Indonesia, agar masyarakat Indonesia kembali mencintai film Indonesia.
Kenapa? Pertama, survei yang diselenggarakan oleh Direktorat Perfilman dan Badan Pusat Statistik pada 2011, seperti yang diungkapkan dalam buku laporan Direktur Perfilman- – ketika itu – – Drs. Syamsul Lussa MA, menunjukkan bahwa penonton film Indonesia hanya 19,78% atau hampir seperlima dari jumlah penonton film di negeri ini. Selebihnya, mereka menonton film impor atau 80,12%. Orang Indonesia ternyata lebih senang menonton film impor asal Amerika/Eropa (69,03%), disusul film China/Hong Kong (6,72%), India (2,43%), dan lainnya (2,04%).
Kedua, film Indonesia yang diputar di bioskop di Indonesia hanya 38,99% atau hampir 39%. Selebihnya, film yang paling banyak diputar adalah film impor sekitar 71% dengan rincian, film asal Amerika/ Eropa 56,21 %, China/Hong Kong 4,23 %, India 0,48%, dan lainnya 0,11%.
Dari data tersebut, terungkap bahwa film Indonesia yang diputar di bioskop di Indonesia hanya 38,99% dan jumlah penonton film Indonesia hanya 19,78%. Hal ini sungguh ‘kenyataan pahit’ bagi insan film yang ingin menjadikan film Indonesia tuan di negerinya sendiri.
Maka, penggalangan penonton, khususnya untuk film Indonesia, merupakan solusi yang lebih tepat, karena makin banyak film Indonesia ditonton orang, logikanya akan semakin bergairah bioskop memutar film Indonesia. Penggalangan penonton diharapkan dapat menjadi solusi dari kondisi yang tidak terhindarkan, semakin menurunnya penonton film Indonesia..
Pemerintah memang wajib menjadi pihak yang diandalkan ketika pihak swasta tidak mampu. Masalahnya, tinggal kemauan politik pemerintah, apakah tetap membiarkan kondisi itu atau melakukan perombakan mendasar, dari pasar film yang meyempit menjadi melebar?
Upaya pemerintah untuk meningkatkan kecintaan kepada film Indonesia perlu ditindaklanjuti dari slogan atau sekadar wacana ke tindakan nyata. Seperti membangun bioskop di seluruh pelosok Tanah Air dan ada upaya penggalangan penonton film pada peserta didik dan pramuka, agar lebih sering menonton film Indonesia, demi meningkatkan apresiasi mereka.
Tindakan nyata seperti itu, sepertinya jauh lebih penting daripada sekadar merumuskan tata edar yang adil bagi film Indonesia dan impor.
Penggalangan penonton tampaknya bukan merupakan hak, tetapi kewajiban yang harus segera dilaksanakan dan wajib didukung oleh semua pihak yang terkait, bila kita memperhatikan, siapa sajakah penonton film di negeri ini?
Dari survei yang diselenggarakan oleh Direktorat Perfilman dan Badan Pusat Statistik pada 2011, terrekam dari sudut umur, jumlah penonton terbanyak adalah dewasa muda, mereka yang berusia 20-40 tahun, yaitu 60,34%. Kemudian remaja (12-19 tahun) 34,64%, dewasa tua (40-60 tahun) 4,28%, anak-anak (< 12 tahun) 0,37%, dan lanjut usia (< 60 tahun) 0,37%.
Data ini memberikan sinyal bagi produser agar lebih banyak memenuhi selera penonton berusia dewasa muda dan remaja, karena mayoritas penonton film adalah mereka, 94,98% (60,34% + 34,64%). Produser dan insan film harus jeli dalam membuat film yang sesuai dengan selera kelompok usia ini.
Sedangkan persentase penonton dari sudut pendidikan, penonton film paling banyak di negeri ini adalah mereka yang berijazah SMA / sederajat, yaitu 52,51%. Posisi kedua lulusan akademi / perguruan tinggi 30,37%, lalu SMP / sederajat 11,36%, SD / sederajat 5,21, dan tidak tamat SD / tidak pernah sekolah 0,19%.
Jumlah penonton berpendidikan SMA ke atas mencapai 82,88 % (52,51% + 30,37%). Mereka adalah kaum terpelajar yang sangat melek dengan kemajuan teknologi saat ini. Sebagai golongan terpelajar, tentunya mereka juga mengharapkan lahirnya film Indonesia yang bisa memenuhi selera dan kebutuhan intelektual mereka.
Spirit Bapak Perfilman Nasional H. Usmar Ismail saat memulai memproduksi film Darah & Doa pada 30 Maret 1950 harus tetap dirawat dan diwujudkan dalam tindakan nyata. Dengan demikian, rakyat dan bangsa kita tidak hanya mengibarkan semboyan “Aku cinta produk Indonesia”, tetapi juga “Aku cinta film Indonesia”. Kalau sudah begitu, “Film Indonesia Menjadi Tuan Di Negeri Sendiri”, bukan sekadar mimpi panjang, tetapi boleh jadi bakal menjadi kenyataan. Amin. (Hardo Sukoyo/Foto Muller