by Tommy F Awuy
Presiden Joko Widodo mendirikan kementerian baru dengan nama “Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan”. Segera saja muncul pertanyaan, “pembangunan manusia”? Sebuah frase macam apakah ini? “Pembangunan” dan “manusia”, mungkinkah kedua istilah yang jelas memiliki pemahaman dengan latar yang berbeda disatukan menjadi sebuah frase yang mampu memberikan isian yang bertujuan praktis untuk kemajuan nyata sebuah bangsa dan negara?
Sesungguhnya konsep “pembangunan manusia” itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Pada masa Orba konsep ini sudah muncul dan termasuk problem hakiki dalam pembangunan bangsa dan negara secara umum. Konsep ini tentu tidak muncul begitu saja. Benih pembangunan ekonomi (economic development) khususnya sudah muncul terlebih dulu sejak awal Orba yang dianggap sebagai panglima menggantikan politik sebagai panglima bagi Orla dengan semboyan character building (pembangunan karakter).
Konsep “pembangunan ekonomi” mengandung pengertian kuat dari perspektif positivistik yang serba terukur di mana fakta-fakta ekonomi padu dengan perhitungan-perhitungan matematis sebagaimana terwakili dalam pengukuran nan-sakti, gross national product (GNP). Ukuran pembangunan sebuah bangsa diukur dari sana apakah sebuah negara layak disebut negara maju (developed country) atau negara berkembang (developing country). Teori “tinggal landas” yang sangat terkenal dan menjadi begitu paradigmatis dari W.W Rostow kala itu tak lepas dari pengukuran tersebut.
Pergeseran Makna
Pada tahun 1990, United Nations Development Programme (UNDP) membuat langkah maju dalam konsep pembangunan bangsa dan negara dengan mempublikasikan Human Development Report (HDR). Dari sini muncul kritik dan revisi terhadap konsep ‘development’ yang dihegemonik oleh pengukuran positivistik khususnya ketika konsep pembangunan tersebut diterapkan pada keberadaan diri manusia menjadi “human development”.
HDR pun pada hematnya bukanlah barang baru diukur dari publikasi pertama UNDP itu. Pada tahun 1968, seorang ekonom dan negarawan asal Pakistan Mahbub Ul Haq, mengeluarkan konsep ‘human development’ yang lalu mendapatkan partner yang sangat tepat yakni Amartya Sen dalam mengembangkan konsep ‘human development’ tersebut.
Baik Mahbub Ul Haq dan Amartya Sen tak sekedar menyoroti pembangunan ekonomi dari dalam diri ekonomi itu sendiri. Mereka memaknai hubungan pembangunan ekonomi yang tak terlepas dari pembangunan manusia secara lebih luas, terutama dari filsafat dan lebih khususnya lagi ethics di antara bidang filsafat lainnya seperti ontology (being) dan epistemology (knowledge).
Program utama dari Mahbub Ul Haq dan Amartya Sen yakni menyampingkan pendekatan positivistik dengan alasan bahwa manusia bukanlah objek dalam pembangunan ekonomi namun subjek dan sebagai subjek manusia tidak semata-mata bisa dilihat sebagai mahluk yang total rasionalistik lalu mengurung dirinya dalam pengukuran GNP. Sebuah pendekatan yang mendapat dukungan kuat dari UNDP.
Amartya Sen misal menginterpretasikan lagi etika Aristoteles, Adam Smith, filsafat politik John Locke, Thomas Hobbes, J.J Rousseau, John Rawls, dll. Dua konsep tentang etika eudamonia (kebahagiaan) dari Aristoteles dan konsep “kebebasan” (freedom) dari para filsuf pendiri negara demokrasi itu diramu menjadi sebuah pemikiran etika ekonomi yang bercorak khas dan baru. Tepatnya Sen dianggap sangat cemerlang memasukkan konsep etika filosofis ke dalam ekonomi yang menghantarkannya menjadi pemenang Hadiah Nobel untuk bidang ekonomi.
Mahbub Ul Haq sendiri mengartikan pembangunan manusia itu pada “pilihan manusia” (people choises). Pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia dilihat sebagai ruang pilihan-pilihan sebagaimana manusia memiliki berbagai potensi dalam dirinya untuk kemudian mampu memilih di antaranya untuk eksis. Musuh pembangunan manusia dan ekonomi tak lain adalah menutup ruang-ruang pilihan itu sehingga manusia tak mampu menemukan dan memenuhi kebutuhannya sendiri sebagaimana jika kita sekedar tunduk pada perhitungan GNP.
“Kebebasan” (Sen) dan “pilihan manusia” (Haq) merupakan dua konsep yang membuka berbagai dimensi kualitas kemanusiaan bagi makna pembangunan manusia yang lalu tercakup dalam tiga kategori besar: kesehatan (health), pendidikan (education), dan standart kehidupan (living standards). Dari sinilah makna “human development index” (HDI) itu muncul dan digunakan hingga saat ini. Intinya pada “kebebasan memilih” sebagai landasan etika.
Kementerian Pembangunan Manusia?
Dalam perkiraan yang sangat optimistik, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi sangatlah terkait dengan latar belakang di atas. Dengan hadirnya departemen kementrian yang baru ini harapan untuk mewujudkan semboyan “revolusi mental” terbuka luas sekaligus sebagai sebuah tantangan yang luar biasa beratnya.
Bercermin pada masa Orba, pembangunan manusia melahirkan jargon yang enak disebut namun berbeban makna alangka beratnya, yakni “manusia seutuhnya”. Seperti apa dan siapakah manusia seutuhnya itu sebagai panutan? Manusia menjadi sempurna apabila dalam kehidupan keseharian bermasyarakat dan bernegara sepenuhnya mengikuti doktrin Pancasila (versi penguasa). Siapakah panutannya? Tak mudah menunjuk langsung namun secara semiotik (interpretasi tanda) kita bisa membacanya pada slogan “bapak pembangunan”, siapa lagi kalau bukan Soeharto?
Sebuah kementerian baru dan menteri yang dari segi usia, pengalaman, dan pengetahuan (?) tergolong “belia”, Puan Maharani. Layaklah bila muncul reaksi spontan dari berbagai kalangan atas kementerian baru ini terkait dengan kemampuan Puan Maharani untuk menghidupi lembaga tersebut. Program macam apa yang bisa dibuat dan diaplikasikan? Tantangan paling signfikan tertujuh pada konsepsi tentang manusia itu sendiri sekaligus kekwatiran apabila Puan Maharani tak memiliki model khas dan terbuka, reformis, maka berjaga-jagalah untuk terjerumus pada slogan manusia seutuhnya ala Orba- soehartoistik itu.
Tantangan lain adalah pada nama kementerian itu sendiri yang terkesan sekedar menerjemahkan “human development” menjadi “pembangunan manusia”. Apa yang mau dibangun dari manusia? Sedangkah dia tertidur pulas lalu sudah saatnya harus dibangunkan?
“Pembangunan manusia” sebagaimana HDR jelas tertuju pada dimensi kualitas atau mutu eksistensial bukan melihat manusia sebagai seonggok tubuh yang menyimpan potensi yang bisa diekspos menjadi seperti mesin yang bekerja secara mekanistik lalu berujung pada eksploitasi demi keuntungan “pihak-pihak tertentu”. Jika mungkin kementerian ini bisa dibaca sebagai “kementerian peningkatan kualitas manusia dan kebudayaan” atau “kementerian peningkatan mutu kemanusiaan dan kebudayaan”. Lebih manusiawi maknanya. Siapa tahu?
(*Tommy F Awuy, Dosen Filsafat; Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok)