Identitas sebuah bangsa dirumuskan, dan harus terus-menerus dirumuskan ulang dalam pergulatan. Ia bukan jatuh dari langit (gifted). Di sanalah, aktivitas intelektual (dan kerohanian) maneges, terus-menerus dilakukan.
Komunitas Lima Gunung adalah warga desa penggiat kesenian dan kebudayaan di sekitar Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yaitu kawasan Gunung Merapi (Kesenian Jathilan), Gunung Merbabu (Kesenian Topeng), Gunung Andong (Kesenian Angguk), Gunung Sumbing (Kesenian Srundul), dan Pegunungan Menoreh (Kesenian Ndholalak).
Mengapa harus terus dirumuskan ulang, karena perubahan masyarakat dan lingkungan fisik alam semesta—adalah “mesin fenomena” yang akan menggiling dan memroses, serta mengendorkan, bahkan merontokkan sekrup-sekrup nilai, entitas, dan kecenderungan kebudayaan manusia. Nyaris tak pernah terjadi penguatan suatu lingkungan kebudayaan dan kebudayaan massa yang dominan berlangsung secara gratis tanpa effort. Pencipta dan pelaku kebudayaan bersangkutan, niscaya selalu merupakan agen-agen perubahan yang agresif merumuskan dirinya, dan produktif menjawab tantangan serta mengantisipasi perubahan semesta.
Budayawan DR Soedjatmoko, sudah mengingatkan tentang kesadaran kebudayaan itu sejak tahun 1980-an. Soedjatmoko secara eksplisit merumuskannya “refleksi atas identitas itu diperlukan secara nasional dan periodik” (lihat Aku dalam Budaya, Toety Heraty Noerhadi, 1984).
Sedangkan rumusan mutakhir negeri China misalnya; negeri yang berdiri di dua kaki. Kaki pertamanya ialah negara peradaban Konfusianistik yang berkeyakinan bahwa kemuliaan negara bergantung pada kesejahteraan rakyat penduduknya. Kaki kedua, ialah negara bangsa kapitalistik, jawaban atas perubahan geopolitik dan interdependensi perekonomian global.
Peringatan Soedjatmoko itu sinkron dengan hipotesa Arnold J Toynbee, sejarawan Inggris yang kondang: keberhasilan sebuah peradaban, ditentukan oleh bagaimana masyarakat merespon tantangan di bawah kepemimpinan creative minority. Peradaban akan runtuh jika kelompok pemimpin berhenti memberi respon kreatif. “Challenge and response” itulah kuncinya, kata Toynbee. Response dalam tahapnya yang paling awal ialah kegiatan refleksi (mesu budi alias laku asketik) untuk masuk pada tahapan identifikasi, dan perumusan.
Refleksi kultural sebagai bangsa secara nasional yang dibayangkan Soedjatmoko, atau prosedur akademis Toynbee dalam rumusan “challence and response”, bentunya yang kontinyu namun kurang terstruktur sebenarnya berulang-ulang terlihat dalam praksis dan pergulatan Komunitas Lima Gunung di bawah Ki Jowongso Sumimpen ini.
Sejak komunitas ini bergerak secara lebih teroganisir tahun 2000 silam, disusul Festival Tiga Gunung (kemudian menjadi Lima Gunung) dilaksanakan pertama kali tahun 2002. Selain pergulatan tiada henti dalam berbagai cabang kesenian dan problem lokal di masing-masing komunitas mereka telah memasuki tahapan refleksi dan laku asketik untuk mengidentifikasi, dan merumuskan ulang strategi komunikasi dan dialog dengan publik dan diri mereka sendiri.
Kursus mengurus keterampilan manajemen pertunjukan, manajemen pertanian, seloroh dan diskusi perselingkungan dalam keluarga dan problem-problem sosial pedesaan, dialog agama, sampai kursus Bahasa Jepang, dan Bahasa Inggris.
Meskipun—sekali lagi “silabus” kegiatan maneges (refleksi) dan gugatan atas diri sendiri dari Komunitas Lima Gunung—dilaksanakan dengan tanpa pola dan tanpa target–. Dalam enam tahun terakhir misalnya etos kerja tepat waktu, dan kemandirian (pentas tanpa sponsor, mantenan menolak sumbangan), menolak kooptasi kesadaran dari penguasa, adalah sejumlah contoh pergulatan yang sungguh-sungguh diterjuni bersama oleh Komunitas Lima Gunung.
Meski demikian, Komunitas Lima Gunung sebagai pencipta dan pelaku kesenian yang telah ikut menentukan ciri khas suatu lingkungan budaya, bisa menjawab tantangan, tuntutan kebangsaan baru lewat kreativitas mereka. Tantangan itu, boleh jadi bukan kewajiban Lima Gunung, sebab tidak ada yang wajib kecuali negara yang harus melakukannya.
Komunitas Lima Gunung, dengan kegiatan kebudayaan mereka jalankan telah mempercepat dialektika sistem nilai, pandangan hidup, bahkan konsep artistik yang sebenarnya telah mereka miliki secara bergenerasi di lingkup mereka masing-masing. Percepatan dialektika itulah maneges: , mempertanyakan jatidiri dalam refleksi yang modelnya ialah ekspresi kesenian, dan praktek kehidupan nyata dengan panduan nalar dan wawasan yang kreatif.
Hipotesa Toynbee dan Soedjamoko, boleh jadi terus dan sedang berlangsung di Komunitas Lima Gunung yang tak terduga ini. Gunung sebagai simbol wilayah budaya ayem tentrem kertho rahardjo serta thukul kang sarwo tinandhur. Gunung juga bisa ditafsirkan sebagai salah satu budaya alamiah tempat nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, kebenaran, lugu, keadilan, kemakmuran, mistik, guyub rukun, rame ing gawe sepi ing pamrih, bisa juga dimaknai sebagai budipekerti luhur.
Gunung juga dapat dipahami wilayah budaya tempat pencucian rohani dengan norma-norma suci ing ilahi, suci ing pikir, suci ing laku dan suci ing ati. Dalam konsep masyarakat gunung diletakan pada apa yang disebut roso sak jati ning manungso, artinya menempatkan kebudayaan masyarakat di ereng gunung sebagai adiluhung.
(***FOTO DAN TEKS : NAFTALIA/ST)