Visualindonesia.com,-
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Seksi Film dan Musik, menggelar diskusi bertajuk, “Siapa Ketua Penyelenggara FFI tahun 2024 dan Tiga Tahun Berikutnya.” Isu ini diambil setelah masa jabatan Reza Rahadian sebagai Ketua Komite Festival Film Indonesia (FFI) berakhir tahun 2023 ini.
Lalu siapa yang bakal duduk sebagai ketua Komite FFI berikutnya dalam penyelenggaraan pesta film tahunan tersebut? Quo vadis Komite FFI? Konon Badan Perfilman Indonesia (BPI) selaku penyelenggara sudah mengantongi nama Ketua Komite FFI selanjutnya.
Panitia diskusi dengan bangga telah mengundang para narasumber yang mumpuni di bidang perfilman nasional seperti Deddy Mizwar (Ketum PPFI), Reza Rahadian (Mantan Ketua Komite FFI), Gunawan Panggaru (Ketua BPI), Akhlis Suryapati (Ketua Sinematek Indonesia), dan sejumlah sineas di antaranya, Lola Amaria dan Nurman Hakim.
Namun, menjelang diskusi yang bertempat di The Groove Suite, Kuningan Jakarta itu, Deddy Mizwar, Reza Rahadian, dan Gunawan Panggaru mendadak batal hadir. Meski demikian, diskusi tetap berjalan dengan hangat bersama belasan wartawan yang biasa meliput film dan musik.
Salah satu yang hangat dibahas adalah peran BPI dan mendesak digelarnya “Musyawarah Film Nasional”.
Selaku Ketua Sinematek Indonesia, Akhlis Suryapati menganggap BPI sudah mati, karena telah salah mengartikan semangat awal pembentukannya. Bahkan sejak tahun 2014 saat BPI melakukan interpretasi pada dirinya sendiri yang keliru, dengan membuat aturan-aturan baru, marwah penyelenggaraan FFI menjadi imbasnya.
“FFI sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan marwah FFI yang pertama kali diprakarsai oleh Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik pada penyelenggaraan pertama FFI tahun 1955,” tegas Aklis di The Groove Suite, Kuningan Jakarta pada Jumat (22/12/2023).
Aklis merasa ada klausul di BPI yang mengatakan Komite FFI yang baru harus tunduk dengan komite yang lama.
“Kekacauan ini terus dipelihara sampai kini. Hasilnya, apakah penyelenggaraan FFI menjadi lebih baik? Tidak, karena kawan-kawan wartawan diberi permen bernama FFWI (Festival Film Wartawan Indonesia), sehingga tidak mempunyai daya kritis lagi dengan FFI,” tuturnya.
Akhlis juga merasakan, terlalu banyak persekongkolan dalam sistem perfilman Indonesia. Karenanya, dia meminta semua persekongkolan dibatalkan, termasuk dalam pengajuan Ketua Komite FFI 2024 oleh BPI.
Sebagai lembaga swasta mandiri, menurut Aklis, ternyata BPI masih menghamba dan menempel ke pemerintah. Buktinya, FFI masih dibiayai pemerintah, tapi seolah dikuasai BPI sendiri.
“Kedaulatan masyarakat film hari ini tidak kita miliki, dan harus kita rebut. BPI gagal melakukan (menegakkan kedaulatan) itu. Karena BPI sibuk rebutan proyek, dan menghamba kepada pemerintah. Harus ada musyawarah film nasional, setelah itu susun ulang pondasi (perfilman Indonesia). Agar yang akan dilakukan BPI mau melegitimasi rencana persekongkolan mereka batal,” jelas Akhlis.
Hal senada diungkapkan Nurman Hakim. Selaku sutradara dan akademisi, dirinya berharap Musyawarah Film Nasional dapat menjadi ajang rembug nasional para stakeholder perfilman Tanah Air. Caranya menghadirkan semua pemangku kepentingan, hingga persona di luar asosiasi demi membuat forum besar.
“Orang yang diundang bukan hanya dari BPI juga asosiasinya. Harus ada akademisi di sana, bahkan wartawan hingga budayawan harus dilibatkan, demi merumuskan formula yang paling mustahak,” kata Nurman Hakim.
Nurman menjelaskan, sependek pengetahuannya, banyak film maker yang tidak dan emoh bergabung dalam sebuah asosiasi perfilman di Indonesia, karena berbagai alasan.
“Makanya kawan kawan IKJ sering bercanda, yang menang FFI pasti kawan-kawan jurinya yang tergabung dalam asosiasi yang sama. Atau FFI adalah festival film untuk kawan sendiri,” kata kandidat Doktor dan pengajar di IKJ dan UMN, itu.
Sementara itu, aktris, sutradara dan produser film, Lola Amaria mengaku, banyak punya pengalaman tidak mengenakkan saat meminta layar ke XXI. Karena harus dan selalu berjuang sendirian, sementara BPI sebagai lembaga yang harusnya menjadi payung insan film tidak melakukan apa-apa.
Seperti saat dia mengajukan untuk mendapatkan layar bioskop ke pihak XXI sejak Mei tahun ini, bahkan sampai Desember 2023 ini akan berakhir, permintaannya mendapatkan layar belum mendapatkan lampu hijau.
“Kita mempunyai BPI yang katanya menaungi kita, tapi mana kiprahnya. Bagaimana kita mau mendapatkan keadilan layar, karena tidak ada sistem yang jelas. Katakan saya mau ngadu ke BPI, tapi BPI bisa apa saat menghadapi XXI,” kata Lola Amaria yang film Exile-nya baru saja mendapatkan Piala Citra pada gelaran FFI 2023.
Dalam diskusi tersebut, wartawan film senior dan pengurus PWI Sie Musik dan Film, Fitriawan Ginting mengusulkan, demi mengurai benang kusut persoalan perfilman di Indonesia, perlu dibentuk Satgas Perfilman.
“Seperti dunia sepakbola yang membentuk satgas sepakbola, sangat dimungkinkan perfilman juga membentuk satgas perfilman. Agar persekongkolan dan monopoli layar bioskop sekalipun dapat diawasi,” katanya.
(drel; foto mm/ist