Seabad Maestro “Otto Djaya”

by -

Jakarta,-

Seabad “Otto Djaya”, sangat istimewa, di inisiasi Inge-Marie Holst dan Hans Peter Holst yang melakukan penelitian tentang Otto Djaya. Perhelatan yang di gelar di Galeri Nasional Indonesia ini, digelar 30 September – 9 Oktober 2016, di Gedung A Galeri Nasional Indonesia.

Pameran lukis 100 tahun Otto Djaya dikurasi Rizki A. Zaelani dan Inge-Marie Holst, menampilkan 200 karya Otto Djaya. Event besar ini menjadi kesempatan langka yang bermanfaat bagi publik seni rupa di Indonesia, khususnya bagi generasi muda untuk mengetahui sejarah dan tradisi lokal selama enam dekade masa pemerintahan di Indonesia yang tergambarkan melalui lukisan-lukisan Otto Djaya.

Inge-Marie Holst - Foto: Muller Mulyadi
Inge-Marie Holst – Foto: Muller Mulyadi

Pameran 100 Tahun Otto Djaya juga menyajikan buku The World of Otto Djaya (1916–2002), yang menceritakan Otto Djaya sebagai salah satu pelukis Indonesia yang karyanya dikoleksi oleh Presiden Soekarno. Otto seorang bohemian, seniman nonkonformis, yang mendefinisikan refleksi dan estetika pribadinya sendiri. Ia melukis dengan kecenderungan visual yang berbeda yang dapat dikenali untuk mengeksplorasi serta mengekspresikan jiwa rakyat Indonesia, khususnya orang Jawa.

Otto sangat analitik terhadap kemanusiaan, termasuk dirinya sendiri, dan mampu mensintesis keindahan alam, mitos, cerita rakyat, dan sindiran umum.

Ia salah satu master dalam sejarah seni rupa Indonesia. Ia pernah menjadi pejuang kemerdekaan di masa kolonial. Bersama saudaranya Agus Djaya, mereka pernah pergi untuk belajar dan bekerja sebagai seniman di negeri Belanda pada tahun 1947-1950 dan beberapa kali berpameran di Eropa.

Otto Djaya hidup dan melukis selama enam dekade sejarah dan periode politik di Indonesia, semenjak masa kolonial Belanda, masa Perang Dunia ke-2, masa revolusi, masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, hingga masa demokrasi.

Lukisan-lukisan Otto Djaya pun menjelaskan antara nilai kenangan dan konteks persoalan sosial-budaya yang bersifat lokal dengan pencarian artistik yang khas untuk mencapai nilai universalitas seni yang bersifat pribadi. Tema-tema tentang pasar, warung, para pedagang asong, perayaan perkawinan, pertunjukkan kesenian tradisi, perjalanan dengan kendaraan bermotor, sepeda, kereta kuda, dll. Tentu saja, alam dan lingkungan hidup.

Intensitas warna-warna dari lukisan Otto Djaya pun melampaui zamannya, seperti warna hijau dedauan yang khas dan biru langit yang cemerlang. Banyak lukisannya yang menjadi khusus juga karena ia mencampurkan atau memasukan tokoh-tokoh wayang dari keluarga Punakawan (khususnya, Petruk dan Gareng) dalam situasi hidup keseharian tersebut.

Memang tidak sedikit seniman Indonesia yang mengangkat tema pewayangan sebagai gagasan berkarya, namun Otto Djaya memunculkannya secara khas, spontan, serta alamiah. Selain ia juga banyak menampilkan tarian sosial dalam tradisi Indonesia dalam lukisan-lukisannya, seperti Ronggeng, Reog Ponorogo, Cap Go Meh, Kecak, juga penggambaran legenda seperti Arjuna, Jaka Tarub, dan Ramayana.

(tjo ; foto d’rel

Leave a Reply

No More Posts Available.

No more pages to load.